Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Fenomena Manusia Tikus di Gen Z, Saatnya Kantor Prioritaskan Kesehatan Mental

Kompas.com, 11 Juni 2025, 10:04 WIB
Devi Pattricia,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Fenomena “manusia tikus” oleh kalangan Gen Z di China mencerminkan perlawanan terhadap tekanan dan burnout. Alih-alih bangun pagi dan produktif, mereka memilih tidur larut, menghabiskan waktu dengan menjelajah media sosial, atau rebahan.

Di sisi lain, "manusia tikus" seharusnya menjadi pengingat bagi institusi kerja untuk lebih adaptif terhadap perubahan karakter tiap generasi, terutama Gen Z.

Baca juga:

“Tentunya setiap generasi punya warnanya sendiri, tempat kerja harus bisa menyesuaikan seiring berjalannya waktu,” kata Psikolog klinis dewasa, Adelia Octavia Siswoyo, M.Psi, kepada Kompas.com, Senin (9/6/2025).

Ia menekankan pentingnya mengenali kebutuhan karyawan, termasuk isu-isu yang menjadi fokus utama mereka dalam bekerja.

Baca juga: Gen Z Hadapi Burnout dengan Jadi Manusia Tikus, Apa Sudah Tepat?

“Penting untuk kenali kebutuhan karyawan, apa yang menjadi awareness (kesadaran) mereka,” ucapnya.

Pentingnya mental health di tempat kerja

Tangkapan layar beberapa anak muda Gen Z di China yang menyebut mereka manusia tikus di aplikasi Red Note (Xiaohongshu). Sebutan tersebut merupakan tindakan berontak dari burnout dan persaingan mencari kerja yang ketat.Dok. Xiaohongshu Tangkapan layar beberapa anak muda Gen Z di China yang menyebut mereka manusia tikus di aplikasi Red Note (Xiaohongshu). Sebutan tersebut merupakan tindakan berontak dari burnout dan persaingan mencari kerja yang ketat.

Dalam konteks Gen Z, kesehatan mental (mental health) menjadi salah satu hal yang sangat diperhatikan.

Banyak dari mereka memilih jeda dan istirahat daripada memaksakan diri menyelesaikan pekerjaan di tengah kondisi psikologis yang tidak stabil. 

Oleh karena itu, institusi kerja sebaiknya mulai terbuka untuk menunjukkan kepedulian terhadap kondisi mental para pegawainya.

Baca juga:

“Ketika mental health menjadi kebutuhan utama, mungkin kantor juga perlu menunjukkan bahwa mereka memerhatikan kesehatan mental dan kondisi psikologis karyawan,” lanjut Adelia.

Lebih jauh, ia menyarankan agar tempat kerja tidak sekadar menyediakan fasilitas pendukung, tapi juga menciptakan budaya kerja yang empatik, terbuka, dan menghargai keseimbangan antara hidup dan pekerjaan.

Dengan memahami karakter generasi yang berbeda, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, sehat, dan produktif, tanpa harus membuat karyawannya merasa perlu ikut fenomena "manusia tikus" untuk bertahan.

Baca juga: Apa Itu Burnout? Kenali Ciri-cirinya

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by KOMPAS Lifestyle (@kompas.lifestyle)

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau