Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bonus Demografi: Tahun Rejeki atau Bunuh Diri?

Kompas.com - 09/05/2017, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Saya adalah orang yang senang mengamati hal-hal yang berhubungan dengan ‘manusia-manusia kreatif’ – dan kadang saya bandingkan dengan apa yang juga dilakukan orang di negri sendiri.

Modus pengamatan yang terasik tentunya dengan media elektronik alias televisi. Layar kaca, selain memberi tampilan fakta langsung, juga memuat narasi yang menegaskan impresi pemirsanya.

Sebutlah acara masak memasak. Menarik untuk diamati bahan-bahan pangan yang dipakai hingga berupa makanan jadi, dandanan yang memasak, hingga komentator atau sikap juri jika programnya adalah lomba masak.

Adopsi acara-acara serupa dari stasiun televisi barat kerap membuat saya terpaksa melontarkan komen nyinyir.

Terlepas dari ketidakmampuan membuat tayangan baru yang orisinil, justru kualitas dan kompetensi manusia-manusia yang bermunculan di layar kaca itu terlihat amat mengerikan.

Entah tuntutan stasiun televisinya atau hanya ingin kelihatan ‘eksis’, ujaran-ujaran yang muncul kerap membuat yang tampil kelihatan bodoh dan hanya mengandalkan riasan wajah tebal. Belum lagi cekikikan genit yang tak ada hubungannya dengan konten acara.

Entah sudah ada atau belum, barangkali stasiun televisi perlu membuat survey konten program yang memberi pembedaan antara kualitas dan kuantitas rating.

Rating bicara soal penghasilan dan iklan yang mau mendukung, akibat semakin banyaknya yang menonton.

Program kesehatan hampir-hampir tak punya porsi. Seandainya ada pun, jauh dari kualitas yang bisa mengejar ketinggalan pengetahuan hidup sehat yang sesungguhnya. Padahal televisi adalah media yang paling diikuti masyarakat, selain informasi lewat ponsel.

Di daerah pelosok pun, rumah boleh kumuh atau berlantai tanah, tapi televisi tetap ada di atas bale-bale sederhana atau meja plastik – terhubung dengan stop kontak yang kabelnya menjuntai entah kemana.

Justru yang ada belakangan ini dengan mendompleng istilah kesehatan, begitu banyak orang menjual berita bohong – tepatnya: berbagai cara yang tidak diakui dunia kesehatan dan kedokteran yang berlaku, dengan motif semata-mata menuai untung.

Mana ada diabetes misalnya, disembuhkan hanya dengan meminum air dari botol ajaib berisi bebatuan? Mana ada pembuluh darah bebas plak dan sumbatan hanya sesederhana itu menenggak cairan berlabel antioksidan?

Lebih nista lagi, didukung profesi yang mestinya dijalankan sesuai jalur pendidikan yang sudah ditempuh sekian tahun.

Gelar dokter dan jas putih dijual dengan pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Di sisi lain, kewenangan mengatur jualan abal-abal dan etika profesi seperti tak tersentuh.

Jika rakyat dididik dengan “tayangan-tayangan” serupa itu, tanpa adanya pelurusan masalah dan penegakan kebenaran, mau jadi apa orang Indonesia 3 tahun ke depan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com