Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bonus Demografi: Tahun Rejeki atau Bunuh Diri?

Kompas.com - 09/05/2017, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Tahun 2020 yang disebut sebagai bonus demografi hanya tinggal tiga tahun lagi. Saat 70% penduduk Indonesia berada di usia produktif, antara 15 hingga 64 tahun. Secara jumlah kedengarannya masif dan efektif, tapi jika kualitasnya tidak beres, maka Indonesia akan mengalami era eksplosif.

Kebodohan akan semakin mempersulit kehidupan bangsa, ibaratnya jargon ‘banyak anak banyak rejeki’ – hanya berlaku saat kerja otot yang diunggulkan.

Tapi di tahun 2020 jika kita masih mengandalkan kerja otot bukannya gawe otak, maka kegaduhan akan tak terelakkan.

Usia produktif adalah kelompok yang membutuhkan pekerjaan, penghargaan, aktualisasi diri dan sekaligus konsumsi.

Bayangkan kebutuhan mendesak yang begitu banyak tanpa dibangun oleh landasan yang kuat dan kokoh, maka hanya satu kata yang muncul di depan mata: kolaps.

Sepuluh tahun sebelum 2020 menjelang, kita sudah merasakan adanya susupan cara pikir maupun cara bertindak yang diam-diam semakin nyata karena azas pembiaran.

Pola asuh keluarga sudah amat jauh berubah akibat suksesnya gerilya perusahaan pangan. Bermunculan ‘keluarga-keluarga praktis’ yang dapurnya amat bersih, tapi tubuhnya kotor dengan polusi pangan yang salah. Janganlah di tahun 2017 kita tuding sebagai hoax walaupun faktanya demikian.

Mengapa? Karena korbannya sudah banyak, sekali lagi, akibat pelurusan masalah dan penegakan kebenaran tidak buru-buru dilaksanakan.

Seorang sahabat saya, dokter spesialis anak – sempat mengeluh. Makin banyak pasien masuk rumah sakit dengan demam berdarah yang sudah lanjut.

Diberi resep obat segera yang harus ditebus pun, orangtua malah lebih ‘khusyuk’ blusukan memburu sari kurma dan angkak.

Jangan-jangan, perlu ada mata kuliah baru bernama “health marketing” dalam semua pendidikan tenaga kesehatan – sebab kelihatannya agen-agen multi-level-marketing lebih lihai menarik simpati rakyat ketimbang nasehat dokter yang klasik dan monoton.

Kita baru membahas satu segmen kecil potret kesiapan dunia kesehatan menjelang tahun 2020. Yang kualitas orang-orangnya masih sebatas mencari solusi jika masalah sudah muncul, ketimbang bersiap diri dengan fondasi kesehatan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Saya yakin di area lain, sebutlah kedewasaan berideologi apalagi pemahaman religi jika dikupas terbuka dengan jujur akan semakin bikin ngeri.

Semoga anak-anak dan remaja yang menjadi fondasi lekas tertangani dan tersalurkan kehausan pengetahuan dan pendidikan paripurnanya di jalur yang benar, karena saya masih optimis kita bisa sekali menjadi bangsa yang besar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com