Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Konten Viral Tenaga Kesehatan dan Kode Etik di Media Sosial

Kali ini, Ugiadam Farhan Firmansyah dan Ekida Rehan Firmansyah, mahasiswa kedokteran FKUI yang disebut tengah menjalani koas, bersama Jerome Polin yang jadi pelakunya.

Sembari mengenakan jas putih dokter dan stetoskop, ketiganya berjoget dengan lagu Kpop sambil tertawa.

Namun di bagian atas video diberi caption, "mohon maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin".

Konten tersebut dianggap tidak sensitif karena kalimat tersebut biasanya digunakan para dokter ketika menyampaikan kabar duka kepada keluarga pasien.

Perilaku tiga conten creator yang menjadikan hal tersebut sebagai bahan candaan dinilai keterlaluan dan tidak beretika.

Di waktu yang lalu, beberapa oknum tenaga kesehatan lain sempat menjadi viral dianggap melanggar etika profesi.

Pelecehan seksual, mengumbar aib, sampai nyinyir soal status pasien menjadi beberapa diantaranya.

Profesi di dunia medis selama ini dianggap sebagai pekerjaan yang bergengsi sekaligus penuh tanggung jawab. Namun, anggapan ini sempat tercoreng karena konten oknum nakes yang dianggap tak layak diumbar ke publik.

Padahal penggunaan media sosial selama ini dianggap sangat bermanfaat untuk edukasi masyarakat.

Sebuah survei yang dilakukan pada 4.000 dokter di sebuah situs internet menunjukkan bahwa
90 persen dokter menggunakan media sosial untuk aktivitas personal dan 65 persen dokter menggunakannya untuk keperluan profesi.

Manfaatnya cukup banyak karena dapat memperluas jaringan profesi, promosi institusi dan kesehatan.

Dokter juga berpartisipasi meningkatkan wawasan kesehatan masyarakat dan terlibat dalam diskusi soal kebijakan kesehatan.

Di sisi lain, penggunaan media sosial yang bijak bisa memfasilitasi hubungan profesional tenaga kesehatan, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Dengan adanya media sosial, dokter lebih terbuka terhadap berita dan penemuan-penemuan baru dalam dunia kedokteran.

Sayangnya berbagai manfaat positif ini kemudian dirusak oknum nakes yang tak mengindahkan kode etik di dunia maya.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) sendiri telah merilis etika bermedia sosial untuk tenaga kesehatan sejak 30 April 2021.

Ada 13 etika yang harus dipatuhi, bukan hanya oleh dokter namun juga nakes lainnya di Indonesia.

Riset tahun 2017 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyebutkan masalah etik di media sosial dikarenakan pelanggaran privasi pasien, ketidakjelasan hubungan dokter dan pasien, serta pencemaran reputasi profesi.

Adapula permasalahan berupa kualitas dan tingkat kepercayaan informasi yang kurang terjamin dan pelanggaran aspek hukum.

Meski demikian, para dokter diharapkan menggunakan media sosial secara bijaksana dengan
mempertimbangkan aspek-aspek etik yang termuat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Aturan tersebut mengutamakan profesionalisme, keterangan dan pendapat yang valid, kejujuran, kebajikan sejawat, serta rahasia jabatan.

Aturan Penggunaan Media Sosial Nakes di Eropa

Berbeda dari Indonesia, tenaga kesehatan khususnya dokter di Eropa sudah memiliki ketetapan jelas. Aturan ini disebutkan oleh General Medical Council (GMC) dalam publikasi berjudul "Doctor's use of social media" yang diterbitkan pada 2013 lalu.

GMC menegaskan dokter untuk menjaga batasan dengan pasien, menjaga kerahasiaan rekam medis dan informasi pribadi pasien, menghindari pencemaran nama baik dan menjaga rasa hormat terhadap sejawat.

Untuk itu, dokter disarankan memiliki dua akun media sosial yang berbeda. Satu dipakai sebagai pemberi edukasi kesehataan berkenaan dengan profesinya sebagai nakes.

Informasi yang disampaikan harus dipilih agar tepat sasaran dan tidak  menggangu privasi pasien. Disarankan untuk memilih jenis media sosial dengan ekripsi yang baik agar informasi yang disebarkan tepat sasaran.

Sedangkan satu akun lagi terpisah yang bebas berisikan ekspresi pribadinya di luar profesi. Hanya saja, dokter harus menolak pertemanan dari pasien di akun pribadi ini.

Agar tidak melanggar kode etik di dunia maya, diperlukan aturan privasi pegawai dan pasien di layanan kesehatan.

Tujuannya untuk mengetahui siapa saja yang mengakses konten yang dibuat atau disimpan oleh dokter.

Dokter juga juga harus waspada dengan sistem keamanan media sosial yang dipakainya karena kekhawatiran dapat membuka data kerahasiaan pasien.

Batasan hubungan dokter dan pasien juga dibutuhkan, misalnya dengan menolak pertemanan di akun pribadi dan membatasi pertemanan di akun profesi.

Jika mengupas contoh kasus tertentu, dokter harus merahasiakan data pasien dengan menghilangkan identitas dan meminta persetujuan yang bersangkutan.

Hal ini erat kaitannya dengan risiko pencemaran nama baik yang mungkin menimpa dokter tersebut.

Untuk ini pula, nakes perlu berhati-hati ketika beropini soal rekan sejawat, pegawau, fasilitas kesehatan atau birokrasi kesehatan.

Penekanan lainnya, berdasarkan acuan GMC, dokter hanya boleh beriklan secara online dengan menjunjung kejujuran sepenuhnya.

Promosi diri hanya bisa dilakukan berdasarkan informasi yang terpercaya, akurat dan relevan. Dikatakan pula dokter tidak diperkenankan menggunakan testimoni pasien untuk mempromosikan diri.

Tujuannya agar tidak ada konflik kepentingan yang bisa mencoreng nama baik profesi ini.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/18/155733820/konten-viral-tenaga-kesehatan-dan-kode-etik-di-media-sosial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke