Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Kabar New Normal?

Protokol kesehatan sebatas menggunakan masker dan cuci tangan pakai sabun barangkali masih dijalankan hanya di komunitas tertentu. Jaga jarak jangan ditanya. Itu tidak pernah ada.

Mulai dari senggolan di angkutan umum hingga foto bersama. Di pelosok gang (masih ibu kota lho) hidup berjalan seperti dahulu. Tak ada yang baru.

Di luar ibu kota, lebih meriah lagi. Persis seakan kengerian beberapa bulan lalu dimana ambulans meraung-raung dan tabung oksigen langka – tidak pernah terjadi.

Banyak kematian akibat penularan Covid-19 seperti tumbal sia-sia. Mereka pergi terlalu cepat, karena takdir dan nasib atau hanya sekadar sial.

Kerinduan dan kecanduan akan keriaan keramaian lebih kuat, ketimbang rasa prihatin nasional dimana sikap saling menjaga dan melindungi semestinya jadi bukti edukasi.

Padahal, pandemi ini mengajarkan manusia banyak hal. Salah satunya kembali ke fitrah sekaligus berubah.

Mulai dari gaya hidup waspada, di rumah saja lebih dekat dengan keluarga, berhemat karena ekonomi sedang morat marit, hingga memanfaatkan kecerdasan artifisial untuk masa depan yang lebih baik.

Tidak ada yang menyangkal bahwa pertemuan atau rapat-rapat virtual sungguh menghemat banyak. Tidak usah ada perjalanan memakan waktu, apalagi keharusan menyiapkan budget untuk makan dan transportasi.

Tapi rupanya geliat ‘new normal’ ini dikendalikan oleh orang-orang yang sama sekali tidak siap berubah atau tepatnya hilang daya abstraksi untuk membuat perbedaan di masa depan.

Akhirnya rapat-rapat kembali diadakan di hotel-hotel, menggelar perjalanan dinas demi memanfaatkan ‘anggaran yang sudah disusun’.

Sebab jika anggaran itu tidak digunakan, maka tahun anggaran berikutnya berisiko kucuran jatah uang program dibabat habis – entah kenapa, ini logika yang sama sekali tidak pernah saya pahami.

Bukankah negara akan berhemat, apabila di sana-sini semakin banyak pimpinan program yang berkehendak baik memangkas anggaran?

Menguntungkan satu kepentingan dengan menempatkan risiko bagi pihak lain bukanlah cara yang arif.

Sebab yang kita hadapi adalah manusia. Manusia Indonesia yang terkenal ‘sulit diatur’, karena merasa peraturannya sendiri yang lebih penting.

Larangan cuti bersama akhir tahun sudah dibelokkan dengan luwes, sebab karyawan mengambil hak cuti dengan menyicil sebelum akhir tahun. Atau memang ini yang diinginkan pemerintah? Libur bergiliran.

Hingga hari ini, Eropa sedang bergelut dengan hantaman gelombang kesekian kalinya virus pandemi yang sudah berganti jaket berusaha menembus pertahanan manusia.

Bahkan disebut mutasi terkini potensial menihilkan tameng vaksinasi. Kita barangkali terlalu lama terlena melihat landainya kurva penularan di negri sendiri. Yang bisa jadi akibat testing dan tracing tidak lagi berjalan segencar dulu.

Pengetesan sebatas pada mereka yang akan bepergian menggunakan kereta api jarak jauh atau pesawat terbang.

Sementara yang memilih ‘traveling’ bermobil sendiri (yang makin lama makin banyak), lolos dari pengawasan.

Lebih mengerikan lagi, ternyata 17 belasan ribu orang dengan Covid-19 positif berkeliaran di mal – sebagaimana dikutip dari data Kemenkes 17 November 2021. Jadi, benarkah vaksinasi menjadi jurus jitu menekan penularan?

New normal sesungguhnya mengharuskan orang tidak abai, sekali pun telah divaksinasi tiga kali.

Sebab, celah mutasi virus yang telah dipepet habis-habisan akan muncul apabila manusia memberi peluang bagi virusnya.

New normal juga membuat keluarga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menciptakan kualitas hubungan.

New normal membuat pendidikan dan pengajaran tidak berbatas dinding, tanpa sekat – bahkan semakin kreatif.

New normal menjadikan perdagangan dan bisnis beralih dari lapak darat menuju lapak virtual – bukan berarti ekonomi mati.

Indonesia belum sampai ke situ? Artinya ini semua umpan balik bagi para petinggi dan pemimpin daerah, kenapa sinyal gawai lebih mudah menangkap hoax dan rakyatnya lebih seru menanggap berita artis ketimbang edukasi gratis?

Amat mengerikan jika New normal ini disambar para pelaku oportunistik. Yang lebih pintar mengelola platform digital, piawai mengerjakan pemasaran virtual, cekatan mengelola korban yang masuk jejaring.

Apalagi rakyat kita terbiasa ‘pantang susah’ - jika tidak mau dibilang malas mengerjakan evaluasi – hanya mengejar solusi.

Melihat maraknya konten aneka media sosial, kita perlu agak prihatin sedikit. Tak jarang yang menyerempet urusan gizi dan pangan pun akhirnya diisi oleh pengunggah yang hanya memburu status viral.

Deviasi New normal: dengan minimnya literasi penikmat media sosial, kemerosotan edukasi semakin ngeri.

Kebingungan melanda para orangtua generasi baru, yang sama sekali tidak mempunyai dasar pemahaman gaya hidup sehat, apalagi cara memberi makan anak-anaknya.

Belum lagi para ‘pakar’ yang juga ikut nampang di media sana sini, dibayar produk yang menawarkan solusi masalah gizi.

Jika konsisten menapak masa New normal, kita tidak boleh keteteran apalagi mati gaya. ‘Gas pol’ teknologi dan inovasi, sebagai cara belajar baru yang tak pernah basi.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa digas pol, yaitu kaidah kodrat yang menyangkut kebertubuhan manusia – kebutuhan nutrisi tidak mungkin disejajarkan produk industri – hal yang amat holistik tidak akan pernah boleh direduksi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/11/30/090300120/apa-kabar-new-normal-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke