KOMPAS.com - Pernah merasa bahwa kita tak cukup berusaha dalam suatu pekerjaan atau merasa bahwa kita tidak mampu menjadi orang dewasa yang bisa membeli sebuah rumah?
Jika iya, mungkin kita mengalami imposter syndrome.
Imposter syndrome merupakan sebuah fenomena di mana kita meragukan atau merasa tak pantas meraih sesuatu atau mendapatkan pencapaian dalam hidupnya.
“Ini adalah semacam perasaan tidak percaya diri,” jelas psikolog Susan Albers, PsyD.
Imposter syndrome ini dialami cukup banyak orang, dengan sebuah studi memperkirakan bahwa 7 dari 10 orang dewasa, baik pria dan wanita sempat mengalaminya.
Menariknya, mereka yang mengalami imposter syndrome biasanya merupakan pekerja keras dan perfeksionis, seperti dokter, pengacara, guru, atau selebritas.
Gejala imposter syndrome
Imposter syndrome memiliki beberapa gejala, di antaranya:
Gejala-gejala tersebut bisa ditemukan dalam beberapa cara, seperti merasa bahwa kesuksesan yang diraihnya dalam pekerjaan adalah akibat keberutungan, bukan kemampuan dan etos kerjanya.
Akibatnya, ia akan sulit mendapatkan promosi.
Bisa juga merasa tak mampu merawat dan membesarkan anaknya. Jika dibiarkan, orangtua seperti ini akan kesulitan menentukan pilihan bagi anak-anaknya karena takut menghancurkan hidup anak.
Pada anak, imposter syndrome ini juga bisa muncul, misalnya terkadang seorang siswa tak mau menanyakan sesuatu karena takut teman-temannya menganggap bahwa ia bodoh.
Sementara itu dalam suatu hubungan, terkadang beberapa orang merasa tak pantas menerima kasih sayang dari pasangannya.
Nah, perasaan itu bisa menyebabkan kecemasan dan stres. Bahkan, sebuah studi yang diterbitkan dalam National Library of Medicine mengatakan bahwa performa penderita imposter syndrome dapat menurun dan burnout pun meningkat.
Tak hanya itu, kondisi ini kerap dikaitkan dengan depresi dan gangguan kecemasan.
Untungnya, Dr. Albers menawarkan tiga cara untuk menangani imposter syndrome ini. Berikut daftarnya.
Pisahkan perasaan dengan fakta
Menurut Dr. Albers, saat mengalami imposter syndrome, kenali dan hadapi perasaan itu.
Ia juga berpendapat bahwa meski kita memikirkan sesuatu, bukan berarti itu benar.
“Jika pikiran kita mengatakan ‘Aku tak tahu apa yang aku katakan,’ ingatkan diri sendiri bahwa kita paham apa yang kita lakukan dan bisa mempelajarinya.
Ingatlah pencapaian kita
Saat merasa “kurang cakap,” mengingat pencapaian yang telah diraih bisa membantu,
Jadi, saat manager mengirim email yang memuji kerja bagus kita dalam syaty proyek, simpanlah dalam folder khusus.
Lalu jika anak kita mengatakan bahwa kita adalah orangtua yang baik, pajang kata-kata itu di tempat kita bisa melihatnya setiap hari.
Berhenti membandingkan
Fokuslah pada pencapaian diri sendiri, bukan pencapaian orang lain.
Membandingkan hidup sendiri dengan konten milik influencer yang telah dikurator hanyalah jebakan untuk membuat kita selalu merasa kurang.
Lalu, ingatlah bahwa orang yang cerdas dan berprestasi merupakan orang yang paling sering berurusan dengan imposter syndrome.
Jadi, fakta bahwa kita menyadarinya akan memberi banyak manfaat.
“Penipu sejati tidak memiliki perasaan seperti itu,” kata Dr. Albers.
Biarlah itu menjadi motivasi untuk terus maju.
Berbicara pada orang lain
Terkadang, berdiskusi dengan orang lain yang memahami dan mendukung, dapat membantu kita menyadari bahwa perasaan imposter yang kita alami normal sekaligus irasional.
Berbicara pada terapis
Seorang terapis dapat membantu kita mengenali perasaan yang terkait dengan imposter syndrome dan membantu menghadapinya, untuk melewatinya.
Terapis akan membuat kita tidak terjebak dalam pemikiran buruk dan memastikan bahwa kita mengambil suatu tindakan dan terus maju.
Memang, keraguan diri bisa melumpuhkan kita. Namun jika kita dapat mengenali dan menangani perasaan itu, kita dapat terus maju dan tak lagi terjebak dalam imposter syndrome.
https://lifestyle.kompas.com/read/2022/04/06/080926520/mengenal-imposter-syndrome-gejala-dan-cara-menanganinya