Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Anak Punya Peristiwa Traumatis, Orangtua Harus Bagaimana?

KOMPAS.com – Membesarkan anak yang pernah merasakan peristiwa traumatis merupakan tantangan bagi orangtua.

Apalagi jika anak benar-benar sulit berdamai dengan pengalaman masa lalunya yang menimbulkan kengerian bahkan kepanikan.

Menurut Pusat Pencegahan dan Penanganan Trauma Northwestern University Feinberg School of Medicine, AS, beberapa faktor bisa membuat anak trauma.

Misalnya peristiwa yang menakutkan, berbahaya, penuh kekerasan, atau mengancam jiwa pada usia 0-18 tahun.

Peristiwa traumatis yang dibiarkan terus-menerus tentu mengakibatkan ketidaknyamanan bagi anak.

Supaya bisa diatasi, psikolog anak Kate Eshleman, PsyD asal Cleveland Clinic punya beberapa panduan yang dapat diikuti orangtua.

Berikan ruang bagi anak

Sebelum membicarakan peristiwa traumatis, orangtua dan anak disarankan untuk mempersiapkan diri terlebih dulu.

“Penting untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk berbicara tentang tragedi,” kata Eshleman.

Eshleman menyarankan orangtua supaya tidak memaksa anak berbicara sampai ia siap.

Orangtua juga bisa menilik tanda apa saja yang diakibatkan oleh peristiwa trauma pada anak, seperti:

  • Masalah tidur, termasuk mimpi buruk
  • Merasa tidak nyaman
  • Perubahan perilaku, seperti menjadi mudah tersinggung, terlalu bergantung, suka menyendiri, sedih atau takut.

Lebih lanjut, Eshleman meminta orangtua untuk memikirkan hal apa saja yang ingin dibicarakan supaya diskusi lebih mudah.

Supaya anak lebih rileks, orangtua dapat memilih waktu yang tenang untuk ngobrol lebih intim.

Berbicara terbuka

Bila orangtua dan anak sudah siap membicarakan trauma, ada baiknya mereka membicarakannya secara terbuka dan jujur.

Yang patut diperhatikan orangtua sebelum memulainya adalah memperhatikan ucapan dan gerak-geriknya.

Karena anak cukup intuitif untuk merasakan ketidaknyamanan yang ditunjukkan orangtuanya.

“Anak dapat merasakan ketika orang dewasa berbicara dengan berbisik atau diam tentang sesuatu,” catat Eshleman.

"Anak juga pandai merasakan ketakutan atau kecemasan pada orang dewasa, yang dapat membuatnya merasa seperti itu juga."

Supaya obrolan orangtua dan anak berjalan mulus, Eshleman menyarankan beberapa tips sebagai berikut.

1. Ajukan pertanyaan terbuka

Sebagian besar anak, berapa pun usianya, punya pengetahuan soal situasi dari pembicaraan dengan teman atau mendengar percakapan orang dewasa.

Sayangnya informasi yang didengar anak belum tentu dipahami sepenuhnya. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan kesalahan informasi.

Maka dari itu, penting bagi orangtua untuk memberikan kesempatan bagi anak agar ia dapat mengungkapkan perasaan takut atau khawatirnya.

“Dengarkan dengan sungguh-sungguh dan jangan abaikan apa yang anak katakan sebagai kekanak-kanakan,” tutur Eshleman.

2. Jelaskan secara sederhana

Bicaralah kepada anak dengan hati-hati dan gunakan kata-kata yang tidak akan menimbulkan kepanikan atau kebingungan.

Orangtua dapat menjelaskan suatu peristiwa, namun harus berdasar usia dan tingkat pemahaman anak.

Lebih baik lagi apabila orangtua tidak membebani anak dengan terlalu banyak informasi.

Apabila anak mengajukan pertanyaan dan orangtua tidak mampu menjawabnya, tidak apa-apa untuk mengatakan tidak tahu.

“Anak biasanya bisa merasakan jika orangtua tidak jujur,” kata Dr. Eshleman.

"Tidak nyaman jika anak berpikir orangtua tidak jujur dan itu bisa menciptakan rasa tidak percaya."

3. Jauhi pemicu trauma

Eshleman mengingatkan bahwa konten bermuatan kekerasan jangan dipertontonkan kepada anak yang masih kecil.

Misalnya dengan mematikan TV apabila menyiarkan peristiwa tertentu yang menjadi pemicu trauma anak.

“(Peristiwa) yang diulang-ulang dan menjengkelkan bisa mengganggu, terutama bagi anak kecil,” tambah Eshleman.

Khusus untuk anak yang sudah besar, orangtua dapat meninjau, mendengarkan, membaca, atau menonton informasi bersama.

Tujuannya untuk mengatasi trauma dan membicarakan suatu informasi sebagai kebutuhan.

4. Pantau media sosial

Trauma bisa mendatangi anak apabila ia melihat konten tertentu, baik berita maupun grafis, di media sosial.

Oleh sebab itu, orangtua disarankan mengajak anaknya berbicara tentang hal-hal yang sudah ia lihat dan dengat.

Anak sebaiknya juga diberikan batasan untuk menggunakan media sosial.

Berikan kenyamanan dan kepastian

Orangtua dapat mengajari anak bahwa emosi merupakan hal yang wajar untuk membantu orang-orang melewati masa-masa sulit.

Cara itu adalah tips untuk menormalkan respons emosional terhadap peristiwa emosional.

Ajari juga supaya anak tidak ragu mendatangi orangtua untuk bertanya maupun berbicara.

Hal itu penting dilakukan karena tidak ada yang bisa memprediksi dengan tepat perkembangan situasi. Jadi, awasi terus perasaan anak.

“Jaga hubungan yang terbuka dan jujur dengan anak nda tentang berbagai peristiwa,” kata  Eshleman.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah memberi rasa aman bagi anak bahwa orangtua dapat melakukan apa pun untuk menjaga dan mengawasinya.

Berkonsultasi

Berdamai dengan peristiwa traumatis memang tidak mudah bagi anak. Dan jika orangtua kesulitan mengatasinya, cobalah untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan.

“Dokter anak atau profesional kesehatan mental berlisensi dapat membantu Anda membuat rencana,” kata Eshleman.

Kelola stres diri sendiri

Peristiwa traumatis yang dialami anak bisa diatasi apabila orangtua dapat mengelola stresnya sendiri.

Misalnya dengan merawat diri, tidak membaca berita tertentu, atau melakukan aktivitas yang mendorong semangat.

Hal itu wajib diperhatikan orangtua karena berada di ruang emosional yang baik akan membantu obrolan dengan anak.

 

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/05/27/102758420/anak-punya-peristiwa-traumatis-orangtua-harus-bagaimana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke