Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hari Sepeda Sedunia, Mencicipi Kemewahan Gowes di Kopenhagen

Tetapi, jalur sepeda di Strandvejen -sebuah jalan sepanjang tak kurang dari 7 kilometer yang membentang dari utara ke selatan di kawasan Hellerup, sisi timur Kota Kopenhagen -sudah ramai dipenuhi warga yang bersepeda.

Ya, pemandangan di Senin pagi itu agak berbeda dengan beberapa hari sebelumnya, di saat Kota Kopenhagen terasa lebih lengang, karena long weekend, Hari Kenaikan Isa Almasih.

"Nah, seru kan? Ini pemandangan Kopenhagen yang sebenarnya. Setiap hari kerja kayak begitu," ujar Bernadeta Pratiwi, warga Indonesia yang sudah tiga tahun terakhir bekerja di sana.

Jalur sepeda selebar 1,5-2,5 meter yang dibuat lebih tinggi sekitar 20an centimeter di sisi jalan, pagi itu dipenuhi pesepeda dengan berbagai gaya dan penampilan.

Mulai dari perempuan berjas dengan tas tangan yang ditaruh di keranjang, atau pemuda-pemuda yang melaju kencang di jalur kiri dengan backpack di punggung, hingga wanita yang memakai hi-heels ada di sana.

Belum lagi, kala mendekat di kawasan sekolah dasar, banyak bocah yang dengan gesitnya melaju di sisi kanan jalan, lengkap dengan helm dan tas punggungnya.

Atau, bagi anak yang lebih kecil, sang ibu terlihat bersepeda di sisi luar untuk melindungi sang anak, sambil terus memberi instruksi agar si bocah bersepeda dengan benar.

Jika tidak didampingi, bocah-bocah ini diangkut dengan cargo bike, sepeda angkut mirip becak yang sangat populer di Kopenhagen.

Tiba di sekolah, halaman depan gedung pun dipenuhi dengan anak-anak yang menambatkan sepedanya ke rak-rak sepeda, -yang merupakan pemandangan khas di setiap sisi kota ini.

Tak peduli tua-muda, laki-laki-perempuan, warga di Kopenhagen memang terlihat sangat  terbiasa mengawali hari mereka dengan bersepeda.

Ungkapan itu tentu tidak berlebihan. Buktinya, Kopenhagen sudah sejak tahun 2015 didaulat sebagai kota ramah pesepeda peringkat pertama di dunia.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah setempat yang mengutamakan sepeda sebagai moda transportasi, maka dukungan infrastruktur berupa jalur sepeda, jembatan khusus sepeda, hingga super cycle highways, pun tersedia di sana.

Kopenhagen memiliki lintasan sepeda tak kurang dari 384 kilometer, padahal luas kotanya "hanya" 179 kilometer persegi.

Jika dibandingkan, luas Kopenhagen cuma setara dengan wilayah Jakarta Timur, atau bahkan lebih kecil dari Kota Depok yang luasnya 199 kilometer persegi.

Tetapi, jalur sepeda di dalam kota ini -jika dibentangkan- lebih jauh dari jarak antara Jakarta ke Purwokerto.

Tak cuma tersambung nyaris tanpa putus ke seluruh penjuru kota, lintasan sepeda pun menggunakan aspal mulus.

Tak ada gangguan penutup lubang-lubang saluran air yang mengganggu dan merusak sepeda di jalur itu. Membuat aktivitas bersepeda kian terasa aman dan nyaman.

Warga juga tak perlu pusing untuk memarkir sepeda. Besi-besi berbentuk pagar setinggi kira-kira 40-50 centimeter, dengan celah untuk memasukkan roda sepeda, selalu tersedia di sepanjang jalan.

Tak mengejutkan jika data statistik menyebut 9 dari 10 warga Denmark memiliki sebuah sepeda, dan 49 persen anak di rentang usia 11-15 tahun ke sekolah dengan menggunakan sepeda.

Lalu, 62 persen perjalanan kerja dan sekolah di Ibu Kota Denmark ini dilakukan dengan sepeda.

"Semua orang di sini bersepeda, lagi pula memang lebih mudah bersepeda untuk pergi ke mana-mana."

Begitu kata David, pemuda Palestina penjaga kios di pusat perbelanjaan Strøget, di pusat Kota Kopenhagen.

Selain itu, kata David, budaya bersepeda tanpa sadar memaksa orang untuk bergerak berolahraga.

"Ini bagus untuk kesehatan, kardio. Apalagi, kamu harus benar-benar kaya untuk bisa naik mobil seperti itu," sambil menunjuk sebuah mobil sport yang melintas di depan kiosnya.

"Sepeda ramah lingkungan, tidak polusi, ada banyak pesan baik di balik budaya bersepeda di sini," sambung dia.

Pandangan serupa diungkapkan Bernadeta. Dia mengatakan, secara tradisional sepeda sudah menjadi alat transportasi warga.

"Jadi bukan sebatas gaya hidup seperti yang terjadi di Indonesia, atau Jakarta," kata dia.

Seperti pemandangan di gerbang sekolah di pagi hari itu, kental terasa budaya bersepeda sudah dikenalkan kepada anak-anak sejak usia dini.

"Semua kalangan memakai sepeda, bahkan pejabat negara pun di sini bersepeda ke kantor," kata Bernadeta lagi.

Tetapi, ada hal lain menarik lain yang menjadi terasa sebagai kemewahan -khususnya terasa bagi para pesepeda yang biasa melaju di jalan kota seperti Jakarta.

Sopan santun dan ketaatan pada aturan seperti mendarah-daging dalam mental pesepeda di kota ini. Hasilnya, kenyamanan untuk semua.

Tengok saja, pesepeda di kota ini akan berhenti -sekalipun jalan kosong dan lebar jalan cuma 4 meter-, dan tetap menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau sebelum kembali melaju.

Memang, ada sesekali pesepeda yang tetap nyelonong menerobos di perlintasan jalan sepi semacam itu, tapi jumlahnya sedikit sekali. 

"Di sini pejalan kaki dan pesepeda adalah pengguna jalan seperti yang paling dihormati," kata Muhammad Zuhdi, warga Indonesia yang sejak tahun 1996 bermukim di Kopenhagen.

Penghormatan yang dimaksud Zuhdi adalah soal bagaimana pengendara mobil akan selalu memberikan jalan kepada pesepeda dan pejalan kaki, terutama di persimpangan jalan.

"Kadang kalau kita bermobil di jam sibuk, kita tuh sampai gak bisa belok, dan lampu lalu lintasnya udah jadi merah lagi, karena kasih jalan ke sepeda-sepeda," sebut dia.

"Tapi ya, begitulah budaya di sini, bersepeda pun jadi nyaman," sambung Zuhdi, yang juga bersepeda ke kantor sejauh 25 kilometer.

Tidak berbelok kiri langsung adalah satu aturan dasar di kota ini.

Artinya, saat berada di perempatan atau pun pertigaan, pesepeda harus menyeberang ke sisi jalan di seberangnya, kemudian menunggu sampai lampu lalu lintas menjadi hijau, untuk melanjutkan perjalanan.

Lalu, saat menggunakan jalur sepeda, goweser harus selalu berada di sisi kanan, dan membiarkan sisi kiri terbuka bagi pesepeda yang lebih cepat.

Wajib menuntun sepeda ketika berjalan di pedestrian, menggunakan lampu sepeda di depan dan belakang saat hari mulai gelap, hingga kewajiban mendahulukan pejalan kaki.

Kemudian, beberapa meter sebelum berhenti atau hendak berbelok, pengendara sepeda akan memberikan sinyal dengan menggangkat tangan, sehingga pengendara lain di belakangnya bisa mengantisipasi.

Aturan ini konon memang dibarengi dengan ancaman sanksi. "Ancaman dendanya tuh sama dengan mobil kalau kena tilang, kira-kira 3.000 kronor (sekitar Rp 6 juta)," kata Zuhdi.

Tapi toh, sangat sedikit -bahkan nyaris tak terlihat ada polisi yang berjaga di kota ini.

Setiap pengguna jalan seperti sudah paham dengan apa yang harus dilakukan, dan mentaati aturan-aturan tersebut tanpa perlu diawasi. Apik sekali.

Ya, memang tak bisa dibantah, udara sejuk, dukungan berbagai fasilitas, kontur datar di sepanjang kota, menjadi faktor besar yang memungkinkan budaya bersepeda berkembang di Kopenhagen.

Meski begitu, bukan tak mungkin rasanya kita meniru ketaatan, kedisiplinan, sikap saling menghormati di jalan, agar aktivitas bersepeda bisa terasa lebih menyenangkan, bukan?  

Siapa tahu kelak kita bisa ikut merasakan "kemewahan" bersepeda di Tanah Air, dengan cara dan kelebihannya sendiri. 

Selamat Hari Sepeda Sedunia...

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/06/03/060000120/hari-sepeda-sedunia-mencicipi-kemewahan-gowes-di-kopenhagen

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke