Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Anxiety pada Pria dan Stigma "Cowok Lemah"

Sayangnya, kohdisi itu seolah masih terlihat wajar dan tampak biasa saja jika dialami kaum hawa.

Tapi ternyata, tidak bagi pria. Masih ada stigma "cowok lemah" ketika mereka mengakui dirinya mengalami anxiety.

Secara umum, gangguan kecemasan ditandai dengan beberapa gejala, dimulai dari ketakutan dan kekhawatiran secara berlebihan.

Ketakutan itu mencakup kecemasan secara umum, panik, kecemasan sosial, kecemasan akan perpisahan, tekanan hidup, stres pasca-trauma, sampai gangguan depresi persisten.

Pada tahun 2019, 301 juta orang di seluruh dunia hidup dengan anxiety. Di antaranya termasuk 58 juta anak-anak dan remaja.

Para peneliti kemudian menemukan sejumlah alasan mengapa gangguan kecemasan pada pria seringkali luput dari perhatian. Bahkan muncul stigma "cowok lemah" di tengah masyarakat.

Pada sebuah riset di tahun 2021 dari 25 studi yang menyelidiki anxiety berbasis gender (pria dan perempuan).

Riset tersebut menemukan perbedaan yang signifikan antara gejala kecemasan yang dialami.

Peneliti melaporkan adanya gejala yang cukup parah pada kecemasan yang dialami pria dan lebih memungkinkan berdampak pada gangguan fisik.

Seperti sakit kepala, kehilangan nafsu makan, tremor hingga kehilangan kendali dibandingkan gejala pada wanita pada usia yang sama.

Mereka juga menemukan, kecemasan di kalangan pria cenderung berpusat pada perasaan kurangnya kontrol dan persepsi "gagal menjadi seorang pria" jika tidak sanggup mengendalikan kecemasan.

  • Perbedaan strategi menghadapi tekanan pemicu kecemasan

Penelitian itu juga menemukan perbedaan dalam strategi koping atau respons dalam menanggapi tekanan yang menjadi pemicu kecemasan.

Sejumlah pria cenderung memilih strategi menghadapi masalah, sementara beberapa perempuan memilih menghindar dan mencari dukungan emosional.

Meski pun strategi koping berbasis masalah mungkin efektif dalam menghadapi situasi, tapi justru akan bermasalah ketika strategi tersebut berantakan dan berjalan tidak sesuai kehendaknya.

Pada titik ini, pria lebih mungkin "mengobati diri sendiri" sebagai bentuk perilaku penghindaran.

"Seringkali pria menggunakan minuman beralkohol, tembakau dan obat-obatan sembarangan untuk mengurangi atau mengontrol gejala kecemasan,"

Demikian kata Dr. Derek M. Griffith, pendiri dan direktur Center for Mens Health Equity di Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat.

Dalam hal strategi koping, Dr. Thomas Fergus, profesor di Departemen Psikologi dan Ilmu Saraf di Universitas Baylor mengatakan bahwa pola asuh sejak kecil memengaruhi hal tersebut.

"Cara anak laki-laki dan perempuan diajarkan untuk mengelola keadaan emosional memainkan peran penting dalam strategi koping," ujarnya.

Dia mencatat bahwa perempuan pada umumnya disosialisasikan untuk fokus pada keadaan emosional.

Sementara pada pria berfokus bagaimana mengatasi masalah dan mendapatkan kendali atas emosi negatif mereka.


  • Pria kesulitan mendapatkan bantuan medis

Tidak seperti perempuan yang begitu mudah mendapatkan bantuan medis terkait anxiety yang dialami.

Bagi kaum adam, mereka cenderung mengalami keterbatasan akses perawatan medis.

Hal itu bisa disebabkan adanya stigma yang melekat di masyarakat hingga sejumlah faktor lainnya.

Seperti pria berusia muda enggan mencari bantuan medis karena merasa gangguan kecemasan itu sifatnya menjadi ranah pribadi dan rahasia, sehingga merasa malu jika teman sebaya mengetahuinya.

Ada pula asumsi bahwa bantuan medis tidak akan membantu, karena adanya anggapan dari diri sendiri bahwa pria itu tidak boleh kelihatan lemah.

"Stereotip maskulinitas berperan dalam menurunkan kesempatan pria mendapatkan perawatan lebih lanjut dan tepat."

Begitu kata Lee Chambers, psikolog dan well-being consultant yang berbasis di AS.

Di samping itu, studi yang sama juga menemukan bahwa pria di usia muda juga memiliki pemahaman yang kurang tentang gangguan kecemasan, yang sebenarnya membutuhkan penanganan yang tepat.

Seperti yang kita ketahui, pria cenderung merasa kesulitan untuk terbuka tentang kesehatan mental.

Di negara-negara berpenghasilan tinggi misalnya. Menurut Survei The American Foundation for Suicide Prevention pada 2018, angka bunuh diri pada pria tiga kali lebih tinggi daripada perempuan akibat gangguan mental.

Hal itu juga memengaruhi mereka yang kesulitan mencari bantuan medis.

Terlepas dari angka tersebut, WHO sempat menekankan bahwa stigma budaya seputar kesehatan mental yang dialami pria menjadi suatu hambatan tersendiri.

Terutama bagi orang-orang yang mengakui bahwa mereka tengah berjuang melawan gangguan mental, termasuk kecemasan.

"Penyakit mental di antara pria adalah masalah kesehatan masyarakat yang cukup menyita perhatian," kata peneliti.

Studi lain dari Kanada yang diterbitkan dalam Community Mental Health Journal pada 2016 menemukan bahwa responden pria cenderung memiliki pandangan seperti;

"Saya tidak akan memilih politisi pria jika saya tahu dia mengalami depresi."

"Pria depresi berbahaya."

Di antara ratusan responden dengan pengalaman depresi dan masalah kesehatan mental lainnya, mereka cenderung malu mencari bantuan medis.

"Membicarakan kesehatan mental bukanlah sesuatu yang mudah di lingkungan sosial tertentu." kata seorang responden itu.

Oleh karena itu, langkah utama dalam mengatasi masalah ini menurut para ahli kesehatan mental adalah meningkatkan materi pendidikan yang berkaitan dengan kesehatan mental.

Penting juga bagi pria untuk mengubah gagasan maskulinitas demi menghapus stigma "tanda kelemahan" apabila memiliki gangguan mental.

Pasalnya, kondisi kesehatan mental perlu dianggap sama pentingnya dengan aspek lain. Dan itu dapat dimulai dari pola asuh orangtua ke anak.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/06/22/085053420/mengenal-anxiety-pada-pria-dan-stigma-cowok-lemah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke