Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Generasi Nongkrong dan Transformasi Sistem Produktivitas

Dorothy A. Miller (1981) adalah ahli yang memberikan istilah entitas ini sebagai generasi sandwich.

Disebut demikian karena beban yang ditanggung olehnya cukup banyak: orangtua, dirinya sendiri, dan anak-anaknya.

Sehingga mereka ini merupakan kategori kelompok yang memiliki pekerjaan dan pendapatan tetap, namun sekaligus memiliki kesulitan untuk mengoptimalkan pemasukannya karena beban yang ditanggungnya itu.

Penulis menyebut entitas ini sebagai “generasi kegencet”, karena generasi ini memang bukan hanya menanggung beban yang sifatnya struktural dan kultural, tetapi juga tergencet oleh beban moral.

Namun jika kita membaca hasil survei dari sudut pandang yang lain, maka data yang ada juga bisa dibaca lain.

Sebagian dari generasi muda usia produktif Indonesia ini adalah kelompok menengah atas atau bisa disebut sebagai generasi mapan.

Disebut sebagai generasi mapan karena mereka terlahir dari orangtua yang memiliki keleluasaan untuk mencukupi kebutuhan produktif anak-anaknya dengan baik.

Generasi ini adalah mereka yang bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah yang cukup baik dan bahkan bagus, serta tidak sedikit yang mahal.

Mereka mendapatkan pengajar berkualifikasi nasional, bahkan internasional; dengan sistem pelajaran global, yang memfasilitasinya untuk eksis dalam ruang pergaulan yang juga luas.

Dengan kualifikasi tinggi ini, mereka terdidik untuk mengembangkan cara berpikir dan sistem produksi pengetahuan yang solid, kokoh, dan majemuk.

Sehingga mereka bertumbuh menjadi generasi inklusif, bisa melihat kehidupan sebagai suatu proses yang di dalamnya dibasiskan pada kultur merit system.

Hal ini tentu berbeda dengan generasi Sandwich yang justru mungkin kekurangan ruang dan waktu untuk memikirkan atau mendapatkan semua itu.

Jika dilihat dari kuantitas, generasi mapan ini jumlahnya bisa jadi tidak mayoritas. Namun, meski bukan mayoritas, mereka memiliki sejumlah kelebihan dan keunggulan.

Berbagai kelebihan seperti selain lembaga tempat belajar yang “sesuai”, generasi ini memiliki kebebasan dan kemampuan untuk memproses sistem produksi pengetahuan yang baik karena memiliki kebebasan untuk mengakses banyak sumber daya berkualitas.

Apalagi tidak sedikit mereka juga dilengkapi dengan sarana penunjang kehidupan yang berspek tinggi: gawai, laptop, uang jajan, bahkan kendaraan bermotor.

Dengan sederet fasilitas dan kemampuannya, kita bisa melihat banyak perubahan dalam ruang dan media belajar mereka.

Mereka tidak lagi nongkrong di warung biasa. Bersama dengan laptopnya yang mahal, mereka nongkrong pada cafe-cafe yang berkelas, cozy, indah, nyaman, internet yang cepat, makanan dan minuman enak dan sebagainya.

Sehingga ketika mereka mendiskusikan banyak hal, seperti kegiatan yang sifatnya akademik sampai aksi mengabdi kepada masyarakat, dilakukannya dengan santai tetapi elegan dan multi perspektif.

Cara pandang ini kemudian jika kita lihat hasilnya, berbanding lurus dengan sumber daya yang mereka keluarkan.

Sebab dengan kapasitasnya, mereka bisa memanfaatkan jaringan kerja orangtuanya maupun jaringan dia sendiri untuk menyukseskan beragam kegiatan tersebut.

Oleh karena itu, dengan segala kebebasan dan sumber daya yang dimilikinya itu, membuat mereka memiliki medium yang cukup untuk mengamplifikasi apa yang mereka lakukan kepada publik yang luas.

Karena kebutuhan dasar mereka yang “aman”, banyak dari mereka melakukan kegiatan-kegiatan itu sebagai aktualisasi kehidupan.

Bahkan kadang pengabdian yang dilakukannya sebagai bagian dari refreshing diri saja. Mereka bisa melakukan hal ini, karena kulturnya bukan dari kelompok masyarakat yang jarang piknik atau tamasya.

Sehingga dengan kultur mapan yang terbangun di lingkungan tempat dia tumbuh dan berkembang itu, mereka bukan generasi yang ingin menumpang ketenaran pada kegiatan berbasis mengabdi pada masyarakat.

Maka wajar jika mereka bisa disebut sebagai generasi nongkrong produktif. Ide dan pikiran yang mereka asah di ruang-ruang tempat nongkrong yang mahal ternyata juga telah menghasilkan kultur bekerja baru di masyarakat.

Di mana kultur produktif yang dikembangkan dan ditumbuhkan itu bisa jadi di masa mendatang adalah sumber utama dalam perubahan sosial budaya masyarakat kita.

Inilah yang disebut sebagai transformasi sistem produktivitas. Meski belum menjadi budaya, namun simptom ke arah sana demikian nyata dan jelas.

Sebab, apa yang mereka lakukan ini, jika menggunakan pendekatan kritis-Habermas, disebut sebagai dialog inter-subjektif. Di mana perdebatan dilakukan untuk mempertajam ide agar mampu menghasilkan tindakan bermakna cara publik.

Budaya kerja yang selama ini dijadikan main course pada semua lembaga (baik bisnis maupun pelayanan publik) memang sudah terlalu konvensional dan usang, sehingga kurang menarik bagi generasi nongkrong ini.

Model kerja yang mengharuskan wajib hadir tiap hari dengan office hour yang ketat, tentu saja harus dipikirkan kembali secara rapi dan mendasar.

Karena selain sudah banyak yang mengkritik tidak lagi tepat, juga hambatannya demikian banyak.

Sehingga jika sistem produktivitas ini bisa diubah maka kalangan muda produktif yang sudah dijelaskan di atas akan kembali memiliki ketertarikan pada lembaga-lembaga pemberi kerja tersebut.

Kita mungkin masih ingat kasus yang cukup heboh ketika sejumlah calon Aparat Sipil Negara (ASN) yang sudah lulus seleksi malah mengundurkan diri.

Bisa jadi ini memberikan pelajaran bagi institusi pemberi kerja untuk menata ulang sistem produktivitas ini.

Berkaca dari penjelasan di atas, maka institusi kerja yang harus menjadi pelopor dalam proses transformasi sistem produktivitas ini adalah instansi pemerintah.

Beberapa alasan strategisnya antara lain karena instansi pemerintah merupakan lembaga yang di dalamnya terdapat sejumlah pranata birokratis dan administrasi yang kemudian banyak ditiru oleh institusi lain di masyarakat.

Sehingga jika pemerintah bisa menghasilkan formula yang tepat (meski tentu tidak wajib seratus persen) dalam menata sistem ini, sangat mungkin akan menular pada lembaga masyarakat lainnya.

Maka dengan penataan ulang seperti ini ada banyak keuntungan yang bisa dipetik. Pertama, akan terjadi penurunan besar-besaran jumlah orang yang pergi ke tempat kerja.

Mereka bisa jadi cukup membuat ruang kerja di rumah masing-masing dan melakukan kegiatan bekerja sesuai tupoksinya di ruang kerja yang ada di rumahnya tersebut.

Kedua, dampak lainnya akan menurunnya kemacetan—yang secara parsial sudah terbukti ketika negeri ini dilanda pandemi Covid-19.

Ketiga, dengan suasana rumah, mudah-mudahan produktivitas bisa tetap terjaga dan bahkan semakin meningkat.

Selanjutnya, dari perspektif generasi nongkrong, dengan desain ini maka pasar kerja akan kembali bergairah, karena ruang ini akan kembali diisi oleh generasi muda produktif, yang beberapa waktu yang lalu kurang tertarik serta lebih memilih bekerja memperkuat perusahaan asing yang lebih adaptif pada gaya dan kecenderungan mereka.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/10/14/095819520/generasi-nongkrong-dan-transformasi-sistem-produktivitas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke