Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Yang Harus Dilakukan Orangtua Ketika Anak Jadi Pelaku Bullying

KOMPAS.com – Femomena bullying kerap terjadi di masyarakat khususnya di lingkungan sekolah, seperti yang terjadi baru–baru ini di Binus School Serpong, Tangerang, Banten.

Mereka yang melakukan bullying biasanya adalah anak yang populer, tampan atau cantik, dan memiliki kekuatan sosial. Tapi tidak menutup kemungkinan anak yang terlihat pendiam bisa menjadi pelaku bullying.

Ada banyak alasan yang membuat anak menjadi pelaku bullying, menurut Mitch Prinstein, seorang profesor dari University of North Carolina. Biasanya anak yang ingin mendominasi anak–anak yang lainnya berpotensi menjadi pembully.

Terkadang ada juga anak yang membully anak lainnya karena ia disuruh oleh anak yang lebih berkuasa dalam sebuah kelompok atau geng. Jika perintah tersebut tidak dilaksanakan, anak ini yang akan menjadi korban bully, sehingga ia merespons hal tersebut sebagai ancaman dan melakukan tindakan yang buruk.

Jadi, perilaku bullying bisa berasal dari berbagai alasan, tetapi penting untuk orangtua memahami sebabnya agar dapat meresponsnya dengan tepat.

Jika anak jadi pelaku bullying

Lalu bagaimana orang tua harus bersikap jika mengetahui anak mereka menjadi pelaku bullying? Berikut ulasannya lebih lanjut :

1. Mencari tahu penyebabnya

Para orangtua pasti akan merasa malu dan bersalah dengan perilaku anaknya yang menjadi pelaku bullying. Namun bisa jadi perilaku tersebut dipicu oleh sikap orangtua dalam mendidik anaknya, sehingga mereka juga perlu melakukan instropeksi diri.

"Perilaku orangtua cenderung sangat jelas dicontoh oleh anak," kata Prinstein. Jika para orangtua mendidik kedisiplinan anak dengan cara memaksa dan menindas, perilaku bullying anak mereka bisa jadi merupakan hasil "didikan" tersebut.

Jika perilaku orangtua bukanlah penyebabnya, mereka mungkin perlu mempertimbangkan faktor lain dalam lingkungan rumah yang mungkin tanpa disadari mengizinkan perilaku abusive.

Selain itu, peristiwa traumatis atau gaya hidup yang terlalu teratur dan terkontrol hingga membuat anak merasa terkekang bisa jadi pemicunya, yang kemungkinan terbawa pada perilaku mereka terhadap teman sekolahnya.

2. Berkomunikasi dengan anak

Berkomunikasilah dengan anak, agar anak merasa nyaman dan berempati ketika orang tua menghormatinya. Beri tahu jika pihak sekolah sudah menghubungi, lalu ingin mengumpulkan informasi dan mencari soulsi.

Tanyakan keadaannya, misalnya apa ada yang membuatnya kesal di sekolah dan kenapa melakukan hal itu? Lalu dengarkan dan beri respon yang baik dengan memberikan sudut pandang orang lain.

Para ahli menyarankan, bersikaplah seolah–olah anak kurang pemahaman bukan karena ia berkarakter buruk. Beritahu bahwa kata–kata kasar sama menyakitkannya dengan dipukul pada bagian wajah.

Menurut Clay pendekatan ini akan membantu memperbaiki perilaku anak sehingga mau belajar dan berubah.

Sebaliknya jika orangtua memberi hukuman pada anak dengan menyita handphone atau tidak memberi uang saku misalnya, akibatnya biasanya akan lebih buruk.

Menurut Clay, hukuman yang berlebihan hanya akan memperkuat perilaku yang mendominasi menjadi makin tidak terkontrol. Sehingga akan berdampak lebih buruk.

3. Membentuk tim anti bullying

Para orangtua bisa melakukan kerja sama dengan para guru ataupun staff sekolah untuk mengawasi perilaku anaknya. Namun jika pihak sekolah tidak mendukung, Clay menyarankan untuk mencari penasehat pendidikan yang bisa memberikan panduan tentang pendidikan khusus dan sikap disiplin anak.

Setelah tim terbentuk mulailah fokus pada keterampilan untuk menghindari perilaku bullying. Juvonen mengatakan “Ini bisa berupa pelatihan keterampilan sosial untuk anak-anak.”

Anak-anak yang sifatnya agresif perlu belajar mengatur emosi, sementara anak-anak proaktif agresif mungkin memerlukan bimbingan untuk mendapatkan pelatihan dengan cara yang lebih positif.

4. Memperbaiki kesalahan dan membangun empati pada anak

Dengan bantuan tim, orangtua dapat membantu anak menemukan cara untuk memperbaiki kesalahannya. Permintaan maaf tidak selalu diperlukan, yang penting adalah anak benar-benar merasa menyesal dan ingin membuat orang yang terluka merasa lebih baik.

Untuk melakukan ini, anak perlu belajar untuk memahami perasaan orang lain, yang disebut empati. "Empati adalah obatnya," kata Prinstein.

Orangtua dapat membantu anak mengembangkan empati dengan membaca buku atau dengan memperhatikan perilaku positif anak dan memberi penguatan positif.

Sebagai contoh, anak dapat diajak untuk menjelaskan kepada adiknya apa yang bisa membuat orang lain merasa terluka.

Hal ini dapat membantu anak memahami bahwa tindakan-tindakan tertentu bisa menyakiti orang lain.

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/02/20/145821120/yang-harus-dilakukan-orangtua-ketika-anak-jadi-pelaku-bullying

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke