Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tak Memaafkan Orang yang Menyakiti Bukan Berarti Jahat

RASANYA di dalam hidup, kita tidak pernah lepas dari pengalaman tersakiti dan menyakiti. Manusia adalah makhluk sosial dan akan terus berinteraksi dengan orang lain sehingga memungkinkan bagi kita untuk terkena konflik kapanpun.

Kita tidak pernah mau berada di posisi salah satunya karena keduanya jelas tidak mengenakkan.

Setelah mengalami kejadian tersakiti pastinya kita mau mendapatkan kata maaf dari orang yang sudah menyakiti diri kita agar rasa sakit kita bisa terobati.

Sayangnya seringkali kita diminta untuk ikhlas dan segera memaafkan orang yang sudah menyakiti, katanya biar tidak ada dendam dan hidup tenteram.

Menurut psikologi positif, dengan memaafkan, maka kita bisa menjadi manusia sehat. Hal yang paling penting adalah pemulihan hubungan interpersonal antarindividu setelah terjadinya konflik.

Memaafkan juga dapat mengurangi tanggapan negatif yang terjadi setelah konflik. Namun, memaafkan bukanlah hal yang mudah karena kita akan merasakan berbagai emosi negatif seperti marah, benci, dendam, dan kecewa setelah apa yang sudah terjadi.

Banyak kejadian dan fenomena yang membuat seseorang enggan memaafkan kesalahan orang lain, sehingga akumulasi emosi negatif berdampak besar pada kehidupan seseorang, bahkan kesehatan mentalnya.

Contohnya ketika kita kesal seseorang menyakiti kita, entah melalui tindakan ataupun ucapannya. Secara tidak langsung kita akan selalu mengingat kejadian itu dan merasa kesal, sedih, hingga kecewa yang membuat kita memendam emosi negatif.

Terkadang secara tidak sadar segera menjauh dari orang yang telah menyakiti kita atau bahkan membalas perbuatan orang tersebut secara tidak sadar.

Contoh kasus lainnya yang cukup berat dan menyebabkan orang sulit memaafkan, misalnya, terjadi pada seorang remaja, yang memiliki obsesi untuk membunuh ayahnya, dikarenakan ia memiliki trauma masa lalu.

Dahulu ia sering melihat ayahnya melakukan tindak kekerasan terhadap anggota keluarganya. Selain itu, ia juga sering mendapat ancaman dari kakaknya. Ancaman tersebut bukan hanya verbal saja, tetapi juga kekerasan yang dilakukan kakaknya terhadap dirinya.

Semua kekerasan yang pernah ia dapat atau ia lihat di masa lalu membuat dirinya menyimpan perasaan marah, kecewa, sedih, trauma, dan emosi negatif. Hal itu menumbuhkan obsesi agar dapat membalas perlakuan ayahnya.

Waktu yang diperlukan seseorang untuk memaafkan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Memaafkan tidak dapat dipaksakan, seharusnya dilakukan dari hati.

Jika seseorang belum dapat memaafkan, bukan berarti ia jahat. Namun mungkin ia masih perlu waktu lebih lama untuk menerima kenyataan dan membuat keputusan memaafkan.

Lantas bagaimana cara memaafkan seseorang yang pernah menyakiti kita?

Enright, Freedman, & Rique (1998) menyebutkan bahwa ada empat langkah dalam proses memaafkan. Berikut langkah-langkah yang akan kita hadapi:

Pertama, uncovering the phase. Fase ini terjadi saat mengalami kejadian yang menyakitkan, ketika kita sadar bahwa sedang mengalami hal yang menyakitkan atau ketidakadilan.

Pada saat ini, kita belajar menguraikan mana hal yang bisa kita terima dan tidak bisa diterima. Kita mungkin akan menghadapi subjek yang dikenal (orang tua, kerabat, atau atasan) dan juga yang tidak dikenal (pencurian, perampokan, atau oleh orang yang tidak dikenal).

Kedua, decision phase. Pada fase kedua ini, kita memahami dengan jelas apa yang dialami dan mendapat insight mengenai pentingnya memaafkan yang kemudian memutuskan untuk memaafkan.

Walaupun agama dan sosial seringkali memaksa atau memerintahkan kita untuk segera memaafkan, namun memaafkan adalah “pilihan bebas” karena terkadang orang yang “terperangkap tidak mau memaafkan” dan menjadi menderita.

Ketiga, work phase. Di fase ini, ketika kita mencoba memahami dan berempati pada orang yang sudah menyakiti kita, bisa dimulai dengan melihat orang yang menyakiti kita memakai cara pandang berbeda sebagai “seorang manusia”, bukan “manusia yang jahat”, kemudian melakukan pemaafan.

Secara psikologis, proses ini membutuhkan waktu dan tidak bisa dipaksakan. Beberapa orang yang mengalami tindakan kekerasan perlu usaha besar untuk sampai pada kesadaran bahwa berkurangnya kebencian terhadap pelaku akan mendekatkan dia pada pencapaian goal kesembuhannya.

Keempat, deepening phase. Pada fase terakhir ini, kita menemukan makna dari penderitaan yang sudah kita alami.

Kita juga mulai mengalami penurunan emosi negatif, perlahan melepaskan emosi negatif yang merasakan keengganan untuk memaafkan, kepahitan, kebencian, dan kemarahan, termasuk berani meminta maaf kepada yang pernah kita sakiti atau memberikan maaf kepada yang sudah menyakiti kita.

Perlu digaris bawahi bahwa setiap orangnya akan memiliki rentang waktu berbeda saat melewati setiap fasenya.

Tidak perlu terburu-buru untuk sampai tahap memaafkan, karena melewati emosi negatif dari rasa sakit hati tidak semudah yang dibayangkan.

Jadi perlahan saja teman-teman! Nikmati setiap prosesnya sehingga emosi negatif yang kalian rasakan bisa teratasi.

*Maryam Zahra, Mahasiswa Psikologi Universitas Tarumanagara
Meiske Y. Suparman M. Psi., Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/03/10/090000220/tak-memaafkan-orang-yang-menyakiti-bukan-berarti-jahat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke