"Menurut saya yang dibutuhkan dalam dukungan sosial yang berdampak pada korban yang pertama adalah dukungan emosional itu berupa layanan psikologis yang membuat mereka merasa punya ruang aman untuk bercerita, perasaannya tervalidasi, kemudian juga untuk bisa mengembalikan sisi trauma yang mungkin terjadi,” ujar Psikolog Klinis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Kota Denpasar, Bali Nena Mawar Sari, dikutip dari Antara, Sabtu (6/12/2025).
Dukungan ini membantu penyintas mengekspresikan rasa takut, cemas, atau kebingungan yang muncul setelah mengalami kejadian traumatis.
Gejala emosional yang kerap muncul setelah bencana
Nena menjelaskan bahwa dampak emosional sering muncul bersamaan dengan upaya korban untuk bertahan hidup.
Banyak penyintas mengalami mimpi buruk, mudah terkejut, sulit berkonsentrasi, hingga menghindari pembicaraan atau gambar yang mengingatkan mereka pada kejadian bencana.
Selain itu, beberapa orang merasakan gejala fisik seperti gemetar, pusing, atau sensasi hampir pingsan.
Bila berlangsung dalam waktu lama tanpa pendampingan, kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan psikologis yang lebih berat.
Mengapa ruang aman untuk bercerita penting?
Dalam situasi pascabencana, korban membutuhkan ruang aman untuk menceritakan peristiwa yang mereka alami.
Menurut Nena, kesempatan untuk berbagi cerita secara bebas dan tanpa penilaian dapat membantu korban memproses pengalaman traumatisnya.
"Dan kemudian nanti juga akan dibutuhkan dukungan komunitas bagaikan kita bisa mengembalikan sense of belongingnya misalnya kaya memasak bareng beberes situasi yang kotor bersama kemudian saling mendukung, komunitas yang bisa mengakomodasi bagaimana kita bisa bekerja sama bekerja sama dan tidak merasa sendirian," tambah Nena.
Dukungan ini tidak selalu harus datang dari tenaga profesional.
Keluarga, tetangga, komunitas, dan relawan memiliki peran besar dalam menyediakan ruang yang hangat dan menerima, terutama di masa-masa awal pascabencana.
Dukungan sosial mempercepat pemulihan
Dukungan sosial terbukti menjadi faktor pelindung (protective factor) bagi kesehatan mental penyintas.
Aktivitas sederhana seperti berbincang, memasak bersama, atau bekerja bakti dapat membangun rasa kebersamaan yang sempat hilang.
Rasa terhubung tersebut membantu korban kembali merasa aman, diterima, dan tidak sendirian.
Pada beberapa kasus, konseling individu, terapi kelompok, atau terapi perilaku kognitif (Cognitive Behaviour Therapy/CBT) juga diperlukan untuk membantu korban memahami emosi dan pikiran yang muncul setelah bencana.
Pendekatan khusus untuk anak-anak
Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan dalam menghadapi bencana. Mereka sering kali belum mampu mengungkapkan ketakutannya secara verbal.
Karena itu, pendekatan bermain, menggambar, atau bernyanyi lebih efektif membantu mereka mengekspresikan emosi.
Kegiatan ini juga dapat meredakan ketegangan dan mengembalikan rasa aman bagi anak, terutama ketika mereka terpapar lingkungan baru atau harus tinggal di pengungsian.
Pemulihan bukan hanya soal logistik, tetapi juga mental
Bencana memang merusak bangunan dan fasilitas, tetapi dampaknya terhadap kondisi emosional sering kali bertahan lebih lama dari yang terlihat.
Pemenuhan kebutuhan logistik tetap penting, namun perhatian terhadap faktor psikologis tidak boleh diabaikan.
Dengan dukungan sosial yang kuat dan ruang aman untuk bercerita, penyintas memiliki peluang lebih besar untuk pulih dan membangun kembali kehidupan mereka setelah bencana.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/12/06/173500120/korban-bencana-perlu-ruang-aman-untuk-bercerita-ini-kata-psikolog