Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dunia Film Shanty Harmayn

Kompas.com - 30/08/2009, 12:40 WIB

”Pasti ada proses adaptasi dan Pak Tohari juga bilang aku bebas menginterpretasi. Aku membayangkan Srintil itu perempuan kuat, melalui begitu banyak cobaan, dan saat akhirnya dia juga harus tetap tegar,” cetus Shanty tentang produksi RDP bersama Indika Entertainment, pemegang hak atas novel RDP, dan produser dari Belanda dan Perancis.

Film adalah minat Shanty yang tak pernah surut. Sekarang ini dia justru tambah bersemangat setelah film yang dia produksi bersama Mizan, Garuda di Dadaku (2009), ditonton 1,4 juta orang.

Sebelumnya, film-film cerita Shanty lebih banyak menekankan sisi seni, seperti Pasir Berbisik, Banyu Biru, Impian Kemarau, dan The Photograph. Menurut Shanty, dia tidak akan meninggalkan produksi film-film seperti itu meskipun butuh perencanaan lebih detail, termasuk pendanaan justru karena peminat jenis film seperti ini tidak luas.

Jadi, bisa jadi Shanty pergi ke sebuah festival film internasional selain untuk menonton dan mencari film yang cocok untuk diputar di JiFFest—sejak dua tahun terakhir dia tidak terlalu banyak terlibat dalam menentukan film yang diputar di festival ini—juga untuk mencari penyandang dana. Untuk pembuatan RDP, misalnya, Shanty bulan Maret lalu berhasil mendapat pendanaan dari Hongkong Asia Film Financing Forum.

Di luar RDP, bersama Mizan dan Prof Yohanes Surya, Shanty juga sedang mempersiapkan film keluarga, tentang kegigihan anak-anak dari berbagai suku dan latar belakang sosial ekonomi berjuang dalam tim olimpiade fisika.

Jarak yang mengendapkan

Minat Shanty pada film tumbuh sangat dini dan bisa dibilang terjadi tanpa sengaja. ”Ceritanya panjang,” kata Shanty. Suatu hari, seorang teman ayahnya menitipkan kira-kira 1.000 kaset video berisi film cerita, acara televisi, dan film dokumenter.

Shanty yang waktu itu kelas IV sekolah dasar tanpa prasangka menonton film-film yang ternyata kemudian setelah dia besar dia sadari sebagian memenangi atau dinominasikan mendapat Academy Award.

”Misalnya, aku belakangan tahu ada filmnya sutradara Italia, (Michelangelo) Antonioni. Bubar sekolah aku langsung pulang dan nonton. Ibuku juga ada dan dia tahu aku nonton film-film itu. Aku juga dibilangin Mama, ’Ayo tutup mata’ kalau ada adegan yang… Tetapi, karena aku tidak punya prasangka apa-apa, aku enggak berpikir macam-macam. Cuma, ’Oh, harus tutup mata, ya’,” kata Shanty.

Meskipun jarak geografis memisahkan dari aktivitas sehari-hari Jakarta, Shanty mengatakan tak pernah putus kontak dengan denyut kehidupan dunia film Indonesia. Meskipun tidak lagi mengetuai JiFFest, dia masih menjadi penasihat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com