Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Matematika Bukan Patokan Kejeniusan

Kompas.com - 18/08/2010, 17:18 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Pandangan anak jenius adalah anak yang pintar dalam pelajaran Matematika membuat orangtua mendorong anaknya menguasai pelajaran Matematika dengan berbagai cara dan sarana. Kekeliruan pandangan ini membuat bakat lain anak kurang mendapat ruang berkembang.

"Sayang orangtua menganggap anaknya jenius kalau bisa Matematika dan Fisika. Padahal, jenius itu bidangnya macam-macam," kata Agoeng Wibowo, Chief Operation Officer Anak Jenius Indonesia (AJI), Selasa (17/8).

Ia menuturkan, secara umum, sebagian besar orangtua di Indonesia belum memahami bahwa anak-anak mereka memiliki talenta yang beragam. Mereka lebih fokus pada pelajaran Matematika maupun Fisika sehingga banyak bakat anak mereka tidak tergali. "Di Barat, pemahaman tentang bakat anak lebih tinggi. Anak yang berbakat di bidang olahraga mendapat ruang untuk berkembang. Di sini, olahraga bukan pilihan," ujarnya.

Melihat kondisi tersebut, AJI berupaya memperkenalkan makna jenius lebih luas. Anak disebut jenius jika bisa mengembangkan kemampuannya dalam berbagai bidang.

Otak tengah

Guna menggali bakat anak, AJI menawarkan sistem pendidikan yang berbasis pengaktifan otak tengah. Pendekatan lewat otak tengah dilakukan karena otak tengah merupakan penghubung antara otak kiri dengan otak kanan. "Jika otak tengah aktif, akses ke otak kiri maupun otak kanan akan lebih lancar sehingga anak bisa mengelola informasi yang masuk dengan baik. Dampaknya, anak menjadi lebih peka," ujar Agoeng.

Menurut Agoeng, metode ini akan berhasil jika orangtua bisa mengubah pemahamannya mengenai definisi anak jenius. Orangtua juga harus terbuka dalam memahami bakat anak-anaknya sehingga bisa mengarahkan mereka sesuai dengan bakat yang dimiliki.

Hasil dari metode pendidikan yang berbasis pada otak tengah diperlihatkan dalam Festival Anak Jenius Istimewa Yogyakarta. Sekitar 130 anak peserta pelatihan memperlihatkan kepekaan indra misalnya bersepeda, bermain egrang, maupun mewarnai gambar dengan mata tertutup. Mata tertutup tidak mengurangi kemampuan mereka melakukan aktivitas karena mereka memaksimalkan fungsi indra yang lain.

Dewi Jayus, orangtua peserta festival, menuturkan, anaknya, Halimatus Sa'dyah, kelas VI sekolah dasar menjadi lebih mandiri dan mudah menangkap pelajaran setelah mengikuti pelatihan. "Dia jadi punya banyak inisiatif, beda dengan sebelumnya," katanya. (ARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com