Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarian Hati Takako Leen

Kompas.com - 07/03/2011, 08:42 WIB

KOMPAS.com — Keberanian untuk memilih, dan mempertanggungjawabkan pilihan, itulah totalitas Takako Leen melakoni jalan hidupnya sebagai penari.

Sejak tahun 1996, Takako hidup di asrama kelompok tari Eksotika Karmawibhangga Indonesia Dance Company, berlatih delapan jam per hari, menginduksemangi puluhan penari yuniornya. Menari, kata Takako, adalah jalan hidupnya untuk menginspirasi orang lain.

Dengan tutur bicara yang cepat dan penuh tawa, gadis yang lahir di Jakarta pada 7 Januari 1972 itu mengisahkan kehidupan di asrama EKI di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan. EKI adalah kelompok tari profesional yang didirikan kakak kandungnya, Aiko Senosoenoto, bersama sang kakak ipar, Rusdy Rukmarata.

”Pola tidur diatur, hanya boleh makan nasi merah, harus minum susu dan vitamin, tidak boleh merokok. Setiap hari, pukul 09.00 sampai pukul 12.30 mengikuti kelas tari. Pada sore hari, latihan fisik dan olah tubuh. Malam harus mengikuti kelas tambahan untuk mempelajari koreografi, teater, olah vokal, pantomim, dan pelajaran alternatif lainnya. Libur pada hari Minggu akan batal jika kami sedang menyiapkan pementasan. Kenapa ya di EKI DC tidak ada KKN?” ujar Takako tertawa.

Saat berumur tujuh tahun, ia mempelajari tarian Bali. Baru tiga tahun belajar, sanggar tarinya bubar dan ia berhenti menari. Tak dinyana, kakaknya, Aiko, berpacaran dengan Rusdy, penari yang pernah mencicipi pendidikan di London Contemporary Dance School, Universitas London, Inggris. Rusdy menggaet Takako untuk bergabung ke kelompok tarinya, Cipta Asana.

”Itu waktu saya kelas 5 SD. Saya juga belajar di Sanggar Balet Cicilia, Ade Siregar. Sayang saya terlambat memulai sehingga saya sudah tidak bisa lagi belajar menari dengan memakai sepatu khusus balet, pointe shoes. Kalau dipaksakan, akan menimbulkan cedera yang justru akan memperpendek karier menari saya. Saya akhirnya menari balet tanpa pointe shoes. Saat berumur 15 tahun, saya memutuskan berhenti belajar tarian balet klasik dan mulai belajar tari kontemporer. Lebih sesuai untuk diri saya yang ingin ekspresif,” tuturnya sambil menyibak rambut panjangnya yang bersepuh aneka warna.

Takako tiba di persimpangan jalan hidupnya pada tahun 1992 ketika menjadi mahasiswa semester III Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional Jakarta. Ujian kuliahnya berbarengan dengan jadwal pementasan operet ”Sketsa Manusia Masa Kini” di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki.

”Entah bagaimana, saya memilih menari. Saya diberi kesempatan ujian susulan, tetapi saya tolak. Saya bahkan berhenti kuliah. Papa tidak keberatan, tetapi berpesan saya harus serius dan membuktikan bahwa dengan menari saya bisa hidup dan berguna untuk orang banyak,” ujar gadis yang pernah pula berguru balet kepada Iko Sidharta itu.

Takako sadar, seorang penari bukanlah dokter yang bisa menolong orang yang sakit secara fisik. ”Namun, menari adalah menyampaikan pesan. Saya pernah memerankan Ken Dedes dalam pergelaran garapan Sujiwo Tejo. Seusai pementasan, seorang ibu menangis menemui saya. Katanya, "Saya terinspirasi dengan tarianmu, menjadi perempuan memang harus maju, kuat, kita jangan mau ditindas." "Saya terkesan dengan peristiwa itu,” kata Takako.

Ketika Aiko dan Rusdy mendirikan Eksotika Karmawibhangga Indonesia Dance Company pada tahun 1996, Takako sudah memantapkan diri menjadi penari profesional. ”Banyak kesenangan hidup yang bisa didapatkan orang lain, tetapi tidak bisa saya dapatkan. Tetapi, saya menikmati pilihan itu karena saya memang mencintai tari,” katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com