Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Chairani Kalla: Pemalu dan Tidak Percaya Diri

Kompas.com - 14/03/2011, 08:49 WIB

KOMPAS.com — Banyak orang mengira, segalanya selalu mudah buat Chairani J Kalla. Padahal, baginya, percaya kepada diri sendiri pun pernah tak mudah. Ia menguatkan tekad meretas jalan, memperjuangkan mimpi-mimpinya sendiri.

Sejak kanak-kanak, Chairani terbiasa dengan pandangan orang yang seolah mengatakan kepadanya, ”Wah, anak orang kaya nih.” Kian menjadilah pandangan itu ketika sang ayah, Jusuf Kalla, berangkat dari dunia usaha menjadi wakil presiden di republik ini pada 2004-2009. Namun, terbiasa bukan berarti Chairani menjadi nyaman dengan pandangan itu.

”Saya beda jauh dengan bapak saya, lho. Saya bukan public figure. Saya tuh orangnya suka grogian....” Begitu Ade—nama panggilan putri bungsu dari lima bersaudara ini— mengawali perbincangan di sofa kamar pasien VVIP yang nyaman di Rumah Sakit Ibu dan Anak Kemang Medical Care. Ade mengelola rumah sakit itu.

Sosoknya mungil—tinggi badan 154 cm dan bobot 45 kg—dengan sorot mata yang ramah dan senyum manis yang kadang terkesan malu-malu. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Makassar, Ade membayangkan dirinya tak seperti ”orang Jakarta”. Menurut dia, lingkungan tempat ia tumbuh jauh lebih konvensional dari nuansa Ibu Kota yang ingar-bingar.

Ketika keluarganya ditempatkan pada lingkar pusat kekuasaan di Jakarta, kultur Makassar tidak pudar di keluarga ini. Dalam ingatannya, Ade kecil dididik untuk tidak selalu merasa berada di atas putaran roda kehidupan. Bila sedang merasa berada di atas, seringlah melihat ke bawah. Begitu diajarkan kepadanya.

Hampir tiap kali libur sekolah, ayahnya menggandeng Ade ke kantor, lalu mempekerjakannya sebatas yang ia mampu. Jadi operator telepon, misalnya. Kemudian, makan siang bersama karyawan di kantin.

Beranjak dewasa, Ade kerap menemukan kawan baru yang menarik diri atau menjaga jarak. ”Kadang-kadang, kalau menghadapi saya, ada yang jadi kayak takut gitu. Awal kenalan biasa saja, begitu tahu saya anaknya JK, langsung kayak mundur. Itu jadi beban buat saya,” ujarnya.

Bagi Ade, keseganan orang lain semata karena nama keluarganya menjadi ironi karena pada saat yang sama ia justru harus berjuang keras melawan sifat pemalu dan tidak percaya diri.

Membujuk bapak
Langkah untuk melihat dunia dengan pikiran terbuka diawali Ade dengan memilih kuliah di San Francisco, Amerika Serikat, setamat SMA di Makassar. Jurusan yang dipilih pun sesuai panggilan hatinya: desain media.

Bukan masalah gampang bagi si bungsu ini mendapat ”tiket” belajar ke luar negeri. Terlebih lagi, kakak-kakaknya pun tak merantau sejauh itu untuk kuliah.

”Lama membujuk bapak untuk mengizinkan saya kuliah ke sana. Kakak-kakak saya juga ikut membujuk bapak. Mereka kan sudah terjun ke bisnis, biar adiknya saja yang kuliah sesuai hobi. Akhirnya bapak mengasihani juga,” cerita Ade.

Empat tahun hidup di lingkungan yang asing membuatnya lebih mandiri. ”Karena tinggal sendiri, saya jadi lebih bertanggung jawab. Sebelumnya, karena saya bungsu, kayaknya apa-apa minta bantuan saudara atau orangtua.”

Hasilnya? ”Saya jadi lebih open minded. Tadinya saya pemalu banget, nggak percaya diri. Sebelum sekolah ke luar negeri, saya malu banget berinteraksi sama orang,” katanya.

Tekad menjadi lebih mandiri tak berhenti di bangku kuliah. Setelah tamat, Ade bekerja di perusahaan periklanan yang tak ada hubungannya dengan bisnis keluarga. Ia menampik bujukan untuk terlibat dalam bisnis keluarga. Padahal, ragam bisnis keluarga Kalla memberi banyak pilihan baginya, mulai dari perdagangan, konstruksi infrastruktur, bisnis penjualan mobil, sampai pembangkit listrik.

Di luar lingkungan keluarga, Ade merasa tidak diberi kemudahan. Ia membuktikan hal itu, misalnya, ketika beberapa presentasi usulannya pun sempat ditolak klien. Menghadapi klien, Ade berusaha tak menampakkan identitas sebagai putri Jusuf Kalla yang saat itu sedang menjabat wapres. Belakangan, identitasnya pun kerap ketahuan karena ke mana pun ia pergi, anggota pasukan pengamanan presiden selalu mengawal.

”Sebenarnya saya tidak merasa diberi kemudahan apa-apa. Malah kadang-kadang, yang bikin saya risi, orang-orang memakai nama saya untuk mempermudah mereka,” ungkapnya.

Ketika ibunya ingin mewujudkan impian lama untuk membangun rumah sakit khusus ibu dan anak, barulah Ade tak bisa mengelak. Semula, ia sebatas bertanggung jawab pada desain rumah sakit itu.

”Katanya, karena kuliah saya kan desain. Padahal, desain media jelas beda banget sama desain arsitektur dan interior rumah sakit yang juga ada standar terkait fungsinya,” ujarnya.

Ia menjawab tantangan itu dengan bekerja keras. Begitu seriusnya Ade, hingga ia jatuh hati kepada rumah sakit yang kelahirannya ia bidani itu. ”Ini seperti bayi saya. Setelah proyek pembangunan selesai, saya susah melepaskan dan akhirnya terjun ke manajemen,” ujarnya.

Kue dan calon suami

Ade punya banyak impian. Salah satunya, membuat toko kue bersama kawan-kawannya. Alasannya sederhana: ia sangat suka membuat kue. Karena kesukaan itu, ia memastikan kue buatannya sendiri turut dijual di toko yang tak termasuk bisnis keluarga itu. Spesialisasi buatan Ade adalah carrot cake dan aneka cup cake. Toko kue impian itu direncanakan sudah terwujud tahun ini.

Menjajaki pasar kue buatannya, Ade juga sudah menerima pesanan kue. Baginya, membuat kue adalah bisnis kecil-kecilan yang membahagiakan. ”Jadi, pagi-pagi saya bikin kue pesanan, terus baru berangkat ke kantor,” ujarnya.

Mimpi lain Ade adalah merevitalisasi perkumpulan Sahabat Muda yang ia pimpin. Perkumpulan beranggota sekitar 1.000 anak muda ini semula dibentuk pada masa kampanye Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pemilihan Presiden 2009. Kegiatan sosial yang dilakukan saat kampanye ini ingin terus dikembangkan Ade.

Tanpa mengusung lagi nama JK-Wiranto, perkumpulan ini memang masih meneruskan kerja mereka. ”Tahun ini rencananya akan diformalkan jadi yayasan. Kegiatannya lebih ke sosial, membuka sarana untuk anak muda yang kurang mampu menyalurkan kreativitas dan kewirausahaan,” ujar Ade yang mengaku tak tertarik politik itu.

Ade sedang bersemangat mengejar impiannya sendiri. Hanya satu yang ia harap datang dengan sendirinya: calon suami.

”Tadinya keluarga minta harus Bugis karena selama ini nggak ada menantu Bapak yang orang Bugis. Tiga menantu Jawa, dan satu Minang. Tetapi, setelah dilihat kok nggak dapat-dapat, sekarang enggak harus Bugis lagi kok,” ujarnya dengan tawa berderai.

* Tempat, tanggal lahir: Makassar, 16 Oktober 1980
* Pendidikan: Bachelor of Fine Art in New Media, Academy of Art University, San Francisco (2000-2004)
* Pekerjaan:
- Junior Art Director di Hotline Advertising Agency, Jakarta (2004-2005)
- Penanggung jawab desain proyek pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak Kemang Medical Care, Jakarta (2005-2007)
- Direktur Komersial PT Sarana Mediktama Kemang–RSIA Kemang Medical Care (sejak 2007)

(Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com