Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jumlah Dokter Amat Kurang

Kompas.com - 17/03/2011, 06:16 WIB

Palangkaraya, Kompas - Kalimantan Tengah sangat kekurangan dokter. Hanya ada 462 dokter dari jumlah ideal 873 dokter. Penduduk Kalteng, terutama di pedalaman, mengeluhkan sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan.

Kepala Bidang Bina Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kalteng Esti Wilianto di Palangkaraya, Rabu (16/3), menuturkan, kekurangan dokter, antara lain, disebabkan jenjang karier yang tidak jelas. ”Belum ada ketentuan yang mengatur kenaikan jenjang karier bagi dokter pegawai negeri sipil yang bersedia ditempatkan di pedalaman,” katanya.

Akibatnya, dokter lebih senang membuka praktik swasta di kota karena pendapatannya lebih besar. Kalau bekerja di pelosok, mereka memilih daerah yang memiliki usaha besar, seperti perkebunan dan pertambangan. ”Keputusan untuk merekrut dan menempatkan dokter merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota,” katanya.

Tak hanya dokter umum, Kalteng juga kekurangan dokter spesialis dan dokter gigi. Berdasarkan data Dinkes Kalteng, saat ini ada 90 dokter spesialis, padahal dibutuhkan 131 dokter pelbagai spesialisasi. Selain itu, hanya ada 96 dokter gigi, sementara kebutuhannya 218 orang.

Untuk menarik minat dokter agar mau bekerja di pedalaman, sejumlah pemkab di Kalteng menyediakan insentif yang besarnya bervariasi tergantung pemkab dan lokasi tugas. Insentif untuk dokter umum sebesar Rp 800.000-Rp 3,5 juta per bulan.

Dampak kurangnya dokter dan tenaga kesehatan lain tampak di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas. Warga menanggung biaya transpor sangat tinggi untuk mengakses pelayanan kesehatan.

Sekretaris Desa Tumbang Anoi Dagon Kapau menuturkan, warga yang hendak berobat atau periksa kehamilan harus ke desa lain di hulu Sungai Kahayan atau ke Tumbang Miri. Untuk periksa kehamilan ke bidan, warga harus ke Desa Serian yang berjarak sekitar 15 kilometer dan mengeluarkan ongkos transpor Rp 200.000 pergi-pulang.

Warga yang sakit harus ke rumah sakit di Tumbang Miri yang berjarak sekitar 40 km. ”Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 800.000 pergi-pulang menggunakan perahu,” kata Dagon.

Ketua Badan Perwakilan Desa Tumbang Anoi Unan Arang mengatakan, di Tumbang Anoi sebenarnya ada bidan yang harus bertugas selama setahun sesuai kontrak. ”Bidan itu baru bertugas empat bulan. Di desa kadang hanya dua atau tiga hari, lalu pergi lagi,” kata Unan.

Hermilon (51), warga Tumbang Anoi, mengeluhkan, warga repot dengan ketiadaan tenaga kesehatan di desa itu. Jika seorang perempuan hendak melahirkan, mereka hanya mengandalkan kemampuan warga lain yang membantu. (bay/aha/mye)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com