Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Gizi sebagai Beban Ganda

Kompas.com - 26/04/2011, 02:49 WIB

Hal ini tentu terkait dengan tingkat kesejahteraan negara-negara maju sehingga masyarakatnya mengonsumsi kalori dan lemak jauh melebihi kebutuhan tubuh. Sangat menarik mengamati data kegemukan di Jepang, dengan tingkat kemakmuran tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi daripada Amerika dan negara-negara Eropa, ternyata prevalensi kegemukan hanya 23,4 persen dan obesitas 3,1 persen. Persentase ini, khususnya kegemukan, lebih rendah dibandingkan dengan di Malaysia, Korea Selatan, dan China.

Perlu intervensi serius 

Kenaikan berat badan akibat konsumsi kalori berlebihan berdampak buruk bagi tekanan darah. Orang menjadi lebih rentan terhadap masalah hipertensi. Selanjutnya, hipertensi dan kegemukan ini menjadi penyumbang faktor risiko munculnya penyakit jantung koroner yang mengakibatkan kematian. 

Studi longitudinal pada alumni Universitas Harvard menunjukkan, seseorang mempunyai rentang usia lebih panjang 40 persen apabila badannya ramping dibandingkan dengan yang berbadan gemuk. Tubuh ramping juga menurunkan risiko terserang penyakit jantung menjadi 60 persen lebih kecil. Kegemukan terkait erat dengan pola makan dan gaya hidup. Anak-anak yang menyukai junk food (makanan sampah) sebenarnya hanya memasukkan kalori ke dalam tubuhnya. Saat ini gaya hidup sedentary yang miskin aktivitas fisik juga semakin menggejala sehingga memperkuat proses terjadinya kegemukan.

Dengan menyadari bahwa kegemukan menjadi ancaman serius tercapainya kesehatan yang optimal, jajaran kesehatan diharapkan jangan terlena dengan hanya memerangi masalah gizi kurang. Masalah gizi lebih seperti kegemukan dan obesitas juga memerlukan intervensi program kesehatan yang serius. Sosialisasi bahaya kegemukan harus selalu dikumandangkan di tingkat masyarakat sehingga mereka terbiasa menerapkan pola makan seimbang (tak berlebihan) dan melakukan olahraga teratur.

Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) yang diluncurkan Kementerian Kesehatan sejak 1996 nyaris tak ada gaungnya. Sementara empat sehat lima sempurna kini dikritik kanan-kiri sebagai moto yang dianggap keliru dan harus diganti. Sejatinya tidak ada yang keliru pada moto tersebut. PUGS dan empat sehat lima sempurna tidak perlu dipertandingkan, tetapi dipersandingkan agar sama-sama dipahami masyarakat sebagai upaya meraih hidup sehat.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com