Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Zoya Amirin: Seks yang Tidak Cabul

Kompas.com - 04/10/2011, 08:45 WIB

”Mahasiswa berebutan ikut mata kuliah itu. Dan, itu berarti bagi saya. Saya bahagia jika informasi saya mengubah cara pandang tentang seks. Salah satu komentar mahasiswa yang saya ingat, ’Gila, ya, saya tidak pernah lupa kuliahnya Mbak Zoya. Rasanya seperti tersambar petir.’ Ha-ha-ha-ha,” Zoya tertawa mengenang.

Tahun 2002, Prof Sarlito ”menceburkannya” menjadi narasumber soal mitos dan seks dalam sebuah bincang-bincang di televisi swasta. Sejak itu pula, Zoya berada di tengah pusaran kontroversi isu seksualitas di Indonesia. Kendati begitu, ia justru mengukuhkan pilihan kariernya setelah menyelesaikan sertifikasi seksologi di Universitas Udayana, Bali.

”Tanpa Prof Sarlito, Prof Dr dr Wimpie Pangkahila dari Universitas Udayana, dan dr Pramudya dari Rumah Sakit Angkatan Laut dr Mintohardjo, karier saya tidak akan secepat ini,” ujar perempuan yang terlahir pada 7 September 1975 itu.

Orang yang hanya mengenal namanya kerap tak percaya bahwa putri pasangan Amirin Amfra dan Sylvia Rauw itu seorang psikolog, apalagi seorang seksolog. ”Calon klien justru lebih percaya staf saya adalah psikolog dan seksolog. Orang masih membayangkan bahwa seorang psikolog itu harus tua, bertampang serius, berkacamata, tidak fashionable,” katanya disambung tawa lepas.

”Kebalikannya, orang yang sudah mengenal saya malah selalu menuntut saya menjadi psikolog dan seksolog sempurna. Padahal, saya terkadang juga ingin curhat, sekadar didengar, berhenti berbicara tentang seks,” ungkap Zoya yang mengaku kerap stres dengan kemacetan Jakarta.

”Sex capital”
Ya, Zoya tetaplah seorang Zoya. Ia memang seperti tak pernah kehabisan energi untuk membuat petir yang menyambar pikiran sesat orang tentang seks. Namun, ia juga ingin sesekali melepaskan diri dari segala urusan konseling. Saat lari dari urusan kerjanya, Zoya pergi jalan-jalan bersama sahabatnya, menonton film, makan es krim, ngobrol remeh-temeh, menonton teater, berbelanja bulu mata, atau sekadar memborong tas aneka warna hingga sepatu high heels. Kala suasana hatinya buruk, Zoya akan mencari-cari sebatang cokelat di tasnya, lalu mengulumnya sebagai penawar kegalauan.

Ya, Zoya yang psikolog itu tetaplah seorang perempuan yang khawatir tak terlihat semampai jika tinggi tubuhnya yang 165 cm itu tak disangga sepatu high heels minimal 7 cm. Tak beda dengan perempuan lain, Zoya pun merasa tak aman jika tak membawa tas dengan beragam isi yang sebagian besar jarang terpakai. Dan, menjaga penampilan mampu membuat hatinya tenteram. ”Tapi, jangan salah, aku berdandan untuk kepuasanku sendiri, lho. Aku malah lebih puas dipuji cantik oleh sesama perempuan daripada dipuji oleh lelaki,” cetusnya.

Jangan salah juga, ”petir Zoya” tak pernah berdiam di zona nyamannya. Zoya memimpikan bersekolah lagi, mengambil program doktor di Indiana University, Amerika Serikat, salah satu perguruan tinggi babon dalam ilmu psikologi seksual. ”Aku sudah punya rencana disertasiku, menghitung sex capital orang Indonesia,” katanya mantap.

Aduh, membahas seks dengan Zoya selalu serasa disambar petir. Sex capital itu wacana apa lagi, ya? ”Ha-ha-ha, ya, mirip-mirip ecological capital atau economic capital, lah,” ujarnya tersenyum.

Wah, Zoya tak pernah kehabisan cerita, tak pernah kehabisan gagasan dan sambaran petirnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com