Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lima Menit untuk Bisa Melihat

Kompas.com - 03/01/2012, 08:07 WIB

Oleh : Try Harijono

Operasi hanya berlangsung 5-8 menit. Namun, hasilnya luar biasa. Mereka yang bertahun-tahun berada dalam kegelapan kembali bisa melihat dunia. Itulah yang antara lain dilakukan Tilganga Institute of Ophthalmology di Kathmandu, Nepal.

Institut Tilganga menarik perhatian dunia, antara lain, karena mampu mengoperasi sekitar 2.500 penderita katarak per minggu di Nepal, negara miskin dengan penduduk sekitar 30 juta jiwa. Institut ini menjadi perhatian dunia karena memiliki klinik, laboratorium, bank mata, serta memproduksi lensa intraokular dari plastik dan mengembangkan teknik operasi katarak sayatan kecil.

Teknik ini hanya perlu sayatan kecil di kedua sisi bola mata, lalu lensa mata keruh pasien dilepas dan diganti lensa intraokular buatan. Prosedur itu berlangsung sekitar lima menit dan pasien langsung bisa melihat kembali. Teknik yang dikembangkan di Institut Tilganga oleh Sanduk Ruit bersama mentornya, Fred Hollows, dari Australia dinilai lebih efektif dibandingkan operasi katarak dengan irisan luas dan jahitan konvensional yang berlangsung lebih dari delapan menit.

Kualitas lensa intraokular produksi Tilganga tidak kalah dengan lensa buatan Amerika Serikat dan Australia. Harga lensa lebih murah, sekitar 20 dollar AS (setara Rp 180.000), karena upah pekerja di Nepal tak semahal Amerika Serikat yang berharga 100 dollar AS.

Hal ini yang menyebabkan biaya operasi katarak di Nepal tergolong murah, Rp 700.000 per orang, termasuk penggantian lensa mata. Sebagai pembanding, di Indonesia biaya operasi serupa Rp 1,3 juta di rumah sakit pemerintah, dan Rp 4 juta-Rp 8 juta di rumah sakit swasta.

Kelebihan Institut Tilganga mendorong sejumlah pihak dari Indonesia untuk melihat langsung. ”Ternyata kuncinya kesungguhan,” kata Bambang Sardjono, Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan yang memimpin tim dari Indonesia.

Lanjut usia

Katarak adalah kerusakan yang menyebabkan lensa mata berselaput dan keruh sehingga pandangan menjadi kabur. Gangguan ini biasanya muncul pada kelompok usia di atas 60 tahun. Namun, kini banyak ditemukan di usia 45 tahun.

Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 52 persen kebutaan pada usia lanjut di dunia disebabkan katarak yang terlambat ditangani. Di Indonesia, kasus katarak tergolong tinggi. Berdasarkan Survei Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia 1,5 persen dari populasi penduduk. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi nasional kebutaan 0,9 persen dari jumlah penduduk, low vision 4,8 persen, dan prevalensi nasional glaukoma 4,6 persen.

Katarak di Indonesia bertambah 240.000 kasus baru per tahun. ”Kemampuan operasi hanya 120.000 orang sehingga terjadi penumpukan (backlog) kasus katarak yang cukup tinggi,” kata Bambang Sardjono.

Untuk mengatasi backlog kasus katarak sekitar tiga juta orang tidak mudah. Jumlah dokter mata di Indonesia sekitar 1.500 orang. Itu pun lebih dari separuh berada di Pulau Jawa, terutama Jakarta dan Jawa Barat. Padahal, kasus katarak, kebutaan, dan gangguan mata lain banyak terjadi di luar Jawa. Kasus kebutaan di atas prevalensi nasional paling tinggi di Sulawesi Selatan (2,6 persen), Nusa Tenggara Timur (1,4 persen), dan Bengkulu (1,3 persen). Adapun prevalensi katarak tertinggi berada di Aceh (3,7 persen), Sumatera Barat (3,3 persen) dan Jambi (2,8 persen).

”Kalaupun ditemukan kasus katarak, persoalannya tidak sekadar melakukan operasi, tetapi ada juga persoalan sosial,” kata Anna Prononingrum, Kepala Balai Kesehatan Mata Masyarakat Cikampek, Jawa Barat. Sebagian besar kasus katarak menimpa penduduk miskin sehingga transportasi dari rumah menuju rumah sakit menjadi persoalan. ”Penanganan katarak menjadi tanggung jawab semua pihak,” ujarnya.

Tertinggal

Untuk mengukur pelayanan terhadap katarak, WHO mengacu pada Cataract Surgical Rate (CSR), jumlah operasi katarak per satu juta penduduk per tahun. Angka CSR Indonesia tergolong rendah, hanya 468, setara negara-negara di Afrika. Angka CSR Myanmar justru lebih baik, yakni 819, Banglades (995), Butan (1.019), Thailand (2.090), Sri Lanka (2.538) dan India (4.067). Nepal sebelumnya 1.490, sejak ada Institut Tilganga tahun 1994, CSR melonjak saat ini menjadi 6.000.

”Kami bertekad, tahun 2020 tidak ada lagi kasus kebutaan di Asia,” kata Sanduk Ruit, Direktur Medis Institut Tilganga.

Ruit tidak sekadar berkeinginan, tetapi melakukan dengan sepenuh hati. Tim dokter Tilganga melakukan operasi katarak terhadap lebih dari 4 juta orang di Nepal dan berbagai negara, termasuk bakti sosial di Medan, Sumatera Utara, Desember 2010 dan Juni 2011. Institut Tilganga juga melakukan pelatihan teknik operasi katarak sayatan kecil bagi dokter dari berbagai negara, termasuk lima dokter dan sejumlah perawat dari Indonesia serta dokter militer dari Amerika Serikat. Lembaga ini juga memproduksi lensa intraokular dari plastik 1.200 lensa per hari.

Tidak masuknya penanganan kebutaan dalam Tujuan Pembangunan Milenium tak bisa dijadikan alasan pemerintah untuk mengabaikan persoalan katarak dan kebutaan di masyarakat. ”Penderita kebutaan akan menjadi beban sosial bagi anggota keluarga lain, apalagi jika masih usia produktif,” kata Effi Jono, Country Manager Indonesia The Fred Hollows Foundation, lembaga sosial yang menangani kebutaan dan gangguan mata. (Try Harijono)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com