Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekali Sarung Tetap Sarungan....

Kompas.com - 07/03/2012, 10:30 WIB

Di Kabupaten Ende, sejumlah motif tradisional masih dipertahankan, seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), dan lawo zombo/rombo (motif pepohonan lambang kehidupan).

Adapun penenun di Kabupaten Sikka masih banyak menggunakan motif seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).

Romo Bosco menguraikan, keragaman motif berakar dari motif sarung asal Gujarat, yaitu patola. Sejumlah motif patola pada sarung Flores bahkan serupa dengan tenun Gujarat, tetapi dengan struktur dan pola motif yang berbeda.

Dengan segenap kerumitan strukturnya, sarung menjadi penanda asal desa seseorang di Flores. ”Dari sarungnya, seseorang bisa dikenali sebagai orang Sikka, atau Ende-Lio, atau Bajawa. Itu karena tiap-tiap desa memiliki struktur motif yang berlainan,” kata Romo Bosco.

Sebegitu melekatnya dalam kehidupan sehari-hari di Flores, sarung dikenakan siapa pun dan di mana pun. Sarung menjadi pakaian pedagang di pasar, dipakai sebagai alat gendongan bayi, dikenakan ketika Misa Minggu di gereja, atau di pesta. Sarung juga berfungsi sebagai alat barter, mas kawin, penebus utang, pakaian perang suku, hingga menjadi benda pusaka.

Dari Bugis ke Perancis
Sarung juga menjadi ”warna” dalam kehidupan orang Bugis, seperti sarung sutra warna merah pudar yang tak pernah lepas dari tubuh Kame (52), penenun asal Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sarung itu dia pakai saat menenun di kolong rumah panggung, menyelimuti saat tidur, hingga saat mandi.

Jadi, tak berlebihan rasanya apabila peneliti tenun tradisional dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Shaifuddin Bahrum, menyebutkan, sarung ibarat teman dalam siklus kehidupan orang Bugis. Bayi yang baru lahir disandarkan di bantal yang dililit sarung. Orang menikah mengenakan sarung yang dipadankan dengan baju bodo untuk perempuan dan jas tutup untuk pria.

Ketika ajal menjemput, keranda pun ditutupi sarung ataupun kain Bugis. Dalam acara duka, pria yang membantu pelaksanaan acara sering kali menutupi kepala dengan sarung.

Maka, tak heran pula kalau Sartika (39), yang telah menenun sarung sutra Bugis selama 15 tahun mengatakan, ”Bukan orang Bugis-Makassar kalau tidak punya sarung.”

Motif yang banyak ditemukan pada sarung Bugis adalah kotak-kotak, berukuran besar maupun kecil, yang membentuk petak. Petak ini dihasilkan dari garis yang saling memotong dan membatasi. Dalam budaya Bugis dan Mandar di Sulawesi Barat, hal itu menandakan bahwa hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. ”Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan,” ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com