Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alice Rahmawati, Jalani Modelling dari Semarang

Kompas.com - 30/05/2012, 09:48 WIB

KOMPAS.com - Cuaca Semarang siang pada awal April 2012 itu tak terlalu bersahabat. Di sana-sini terlihat mendung menggantung, tetapi udara panas menyengat. Mungkin akan segera turun hujan. Lewat telepon, suara Alice (30) sayup-sayup terdengar, ”Kita ketemu di tepi laut….”

Alice Rahmawati Oyong Wijaya, model bertubuh jangkung dengan wajah keindo-indoan, belum tiba ketika tiupan angin laut begitu kencang. Restoran, tempat kami berjanji, masih sepi. Cuma seorang penyanyi dadakan yang mendendangkan lirik, ”Semuanya telah kuberi/dengan ketulusan hati/untukmu/hanya untukmu....” Itu lagu hits dari kelompok band Armada. Siang jadi lumayan galau….

Tiba-tiba sebuah puisi melintas di benak: //Tangan ini menampung luka dari mata, selalu begitu tanpa minta apa-apa//. Itulah salah satu puisi pendek yang pernah dikirimkan Alice.

Model yang pernah meraih 10 Besar Puteri Indonesia tahun 2002 ini sudah lama bercita-cita membuat sebuah buku. Buku dan diskusi adalah keseharian Alice setelah memilih menetap dan membangun keluarga di Semarang. Ia tinggalkan Salatiga, kota kelahiran dan tempatnya menuntut ilmu, untuk memburu karier sebagai seorang model profesional. Dan dari Semarang, ia menyejajarkan diri dengan model-model pada masa Arzetti dan Ari Wibowo berjaya. Alice bahkan sering kali menyusuri catwalk di panggung-panggung negeri singa, Singapura.

Hebatnya seluruh aktivitas dunia model itu dijalani Alice dari Semarang, kota yang hampir tak pernah tercatat dalam industri mode di Tanah Air. Kenapa? ”Aku mulai dikenal saat memenangi Puteri Indonesia Jawa Tengah. Jadi biarlah di sini saja…,” tutur Alice.

Kami sudah berhadap-hadapan memandang ke arah laut. Sebuah biduk yang ditambatkan di tepi sebuah kolam pancing dimainkan dua anak-anak. Itulah anak-anak Alice, Matthew Xavier Thera (4) dan Luke Sebastian Thera (3). Anak-anak yang tumbuh cepat di usia Alice yang baru menanjak 30 tahun.

Mengapa? ”Rumah tangga itu karier buatku…,” kata Alice. Ia serius, lalu memandang jauh ke arah cakrawala dan menunjuk arah biduk. ”Seperti biduk. Pada akhirnya harus tertambat setelah berlayar…,” kata Puteri Persahabatan Indonesia 2002 ini. ”Aku ingin memulai segala sesuatu lebih cepat,” tambahnya.

Bukan masa lalu
Dunia model, bagi Alice, memang bukan masa lalu. Tetapi, prioritas dan realitas hidupnya kini berkata lain. Ia harus meneguhkan komitmennya sebagai ibu, yang bertanggung jawab membesarkan dan mendidik anak-anak. Penyerahan diri yang total di haribaan keluarga, menurut Alice, akan membuatnya leluasa menjalani hidup kelak ketika anak-anak lebih cepat besar.

Keluarga bagi perempuan kelahiran Salatiga, 23 Januari 1982, ini tidak berhenti di lingkup keluarga inti. Alice bersama beberapa sahabatnya di Salatiga dan Semarang bergiat merangkul anak-anak jalanan. Ia tak merasa perlu membuat semacam lembaga formal. ”Kehidupan sosial itu soal ketulusan dan keikhlasan. Jadi, aku lakukan segalanya dengan dasar itu,” ujarnya.

Alice merasa langkahnya bukan sesuatu yang besar. Ia cuma mencoba melakukan hal-hal kecil yang bisa ia berikan. Suatu kali ia menggalang dana untuk seorang gurunya di satu SMA di Salatiga sampai kemudian sang guru mendapatkan perawatan lantaran penyakit kanker getah bening. Pada waktu berbeda bersama kelompoknya, sebagian besar para perempuan yang tinggal di Semarang, ia menggalang dana untuk anak-anak jalanan di Semarang.

”Biasanya sih kami pakai momen hari raya untuk kami rayakan bersama-sama mereka,” kata Alice.

Aktivitas itu, tambah Alice, sama sekali tidak dengan tujuan yang muluk seperti ingin mengangkat kehidupan anak jalanan. ”Semua itu spontan, sekali lagi cuma dilandasi keikhlasan saja, karena kita punya, berbagi itu wajib,” tutur Alice yang mengaku memiliki beberapa rak buku koleksi dan belum semua terbaca.

Diskusi
Baca buku dan diskusi kini menjadi aktivitas harian wajib bagi Alice. Setelah menuntaskan waktu berolahraga atau beryoga di pusat kebugaran, ia biasanya berdiskusi dengan Ekastri, sahabatnya di Semarang, tentang buku-buku yang baru saja mereka baca. ”Kadang kami diskusi tentang novel-novel terbaru karya Dewi Lestari, Agus Noor, Clara Ng, atau pengarang luar. Pokoknya kalau sudah diskusi bisa lupa semuanya, he-he-he," tutur Alice semringah.

Dua putranya tiba-tiba menghampiri kami minta makan siang. Hari memang sudah cukup lewat waktu untuk makan siang. Sementara kami belum menuliskan menu pilihan di nota pemesanan. Cuma sejak tadi air kelapa muda yang segar telah membasahi tenggorokan.

Apa yang belum tercapai dalam hidupmu?

Alice menjawab tangkas, ”Menulis buku dan menjadi lebih baik!”

Bagaimana caranya meraih itu?

”Kerjakan hal yang sederhana.”

Misalnya?

”Berbagi kehangatan kepada keluarga dan terus menulis.”

Alice mengaku sudah banyak hal yang dia tulis. Ia yakin pada saatnya nanti sebuah buku akan lahir dari tangannya. Sebagaimana yang ia tuliskan dalam puisi pendeknya, ”Tangan ini menampung luka dari mata, selalu begitu tanpa minta apa-apa.” Ungkapan yang biasa saja, tetapi jelas menyimpan tekad yang kuat untuk mencatat segala hal seperih apa pun, lewat karunia kedua tangan, tanpa harus memikirkan segalanya akan berbuah bagi diri sendiri.

”Berbuat baik itu bukan karena ingin sesuatu, tetapi lakukan saja dengan ringan,” kata Alice.

Bersibuk dengan klien
Meski memasuki dunia fotografi secara otodidak, sejak beberapa bulan terakhir Alice mulai sibuk dengan klien-kliennya yang mulai membanjir. Dia seolah berbagi peran bersama Ekastri, sahabatnya. Dalam wadah bernama Lavela Fotografi, Alice bertugas merias klien-kliennya sebelum ”dijepret” Ekastri.

”Sudah lama aku ambil kursus make-up bridal, tetapi juga kadang bertukar peran dengan Ekastri. Aku yang sekalian motret,” ujar Alice.

Tadinya kursus make-up dan fotografi dijalani Alice sebagai hobi untuk mengisi hari-harinya yang luang. ”Lama-kelamaan selalu dimintai tolong merias dan motret. Lalu ada yang mulai memberi imbalan, ha-ha-ha....” tutur Alice. Sekarang, dalam sekali jepret, Alice dan Ekastri memasang tarif Rp 30.000. ”Kemahalan enggak ya...?” tanyanya.

Kebanyakan klien Alice berasal dari lingkungan para ibu muda di sekitar pergaulannya dalam komunitas fitnes, kursus make-up, dan agen para model. Sejauh ini seluruh pekerjaan make-up dan editing foto dikerjakan Ekastri dan Alice di rumah masing-masing. ”Karena ini, kan, para ibu rumah tangga yang harus ngurus keluarga. Jadi, meski sudah jadi pekerjaan, tetap saja berbau iseng, he-he-he,” tutur Alice.

Oleh sebab itulah, Alice mencoba membagi waktunya antara merias dan mengurus keluarga. ”Sekarang baru bisa 2-3 kali merias dan motret di luar rumah, selebihnya untuk mengurus rumah tanggalah,” katanya.

(Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com