Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/10/2012, 18:17 WIB

Kemenangannya di SEA Games 2011 dengan mendulang 4 emas dan dua perak, misalnya, menghasilkan bonus sekitar Rp 900 juta. Uang itu digunakannya untuk biaya latihan, asuransi pendidikan untuk anak-anaknya, dan modal untuk berbisnis.

”Saya bilang sama ayah, 'Pa, karena Lis enggak punya suami, aku serahin semua uang pada Papa. Bikinin aku sesuatu yang bisa menjamin anak-anak tetap sekolah'. Ayah kemudian membelikan ekskavator untuk disewakan,” kata Lis.

Paralayang memang bukan olahraga murah. Peralatan termurah berkisar Rp 25 juta-Rp 30 juta. Belum lagi jauhnya lokasi seri kejuaraan dunia. Semua itu membuatnya harus bersiasat. Bonus dari SEA Games digunakan untuk biaya mengikuti seri kejuaraan dunia karena tak ada dana dari pemerintah. Untuk wilayah Eropa, misalnya, Lis harus merogoh kocek sekitar Rp 40 juta per kejuaraan.

”Saya berprinsip bonus SEA Games harus dipakai untuk meningkatkan prestasi,” kata Lis yang bertekad mempertahankan titel juara dunia pada tahun 2013.

Naik pohon
Dari tujuh bersaudara, semuanya perempuan, Lis adalah anak keempat. Dari kecil ia dikenal tomboi. ”Mungkin karena ayah ingin anak laki-laki.” Salah satu keahliannya adalah memanjat pohon, termasuk memanjat pohon kelapa. ”Jadi kalau orangtua saya marah dan saya dikejar, mereka tidak bisa menangkap saya. Saya manjat cepat, tapi tidak berani melihat ke bawah,” kata Lis yang di kala sekolah kerap menjuarai lomba lari.

Lis belajar paralayang pertama kali tahun 2006, ketika Kabupaten Kutai Barat mencari atlet paralayang untuk Pekan Olahraga Provinsi. Ayah Lis yang pecinta olahraga dirgantara menyuruh Lis belajar paralayang.

”Saya sebenernya takuuut.... Karena saya takut ketinggian. Jadi semalaman saya memikirkan permintaan itu. Sampai akhirnya saya menyanggupi,” kata Lis.

Materi yang dipelajari Lis pertama kali adalah mempelajari seluk-beluk parasut dan mengontrol parasut (ground handling). Esoknya, Lis sudah melayang-layang dengan parasut. ”Waktu terbang pertama kali saya merem,” kata Lis. Setelah seminggu belajar paralayang tingkat dasar, ia langsung bertanding. Hasilnya adalah medali perak.

Tahun 2010 Lis pertama kali mengikuti kejuaraan dunia paralayang nomor ketepatan mendarat. Namun, ia tidak berhasil membawa medali, demikian juga pada tahun 2011. Tahun 2012 ia meraih juara dunia setelah mengikuti empat seri yang berlangsung di Malaysia, Montenegro, Albania, dan seri terakhir di Jerman-Austria.

”Saya beruntung mempunyai orangtua yang sangat mendukung. Kalau orangtua lain mungkin sulit mengizinkan anak perempuannya main paralayang,” kata Lis.

Mendung mulai menggelayut. Lis membuka parasutnya. Dengan teliti ia merapikan satu per satu talinya. Dengan sedikit berjingkat ia berlari kecil dan hup..., ia meloncat dari atas bukit. Payung parasut berwarna marun miliknya makin lama makin kecil, menghilang di balik awan....

(Myrna Ratna/Wisnu Aji Dewabrata)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com