Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/01/2013, 21:59 WIB

Sekarang, tidak semua buku diantar sendiri. Sebagian dititipkan ke kawan-kawannya yang menuju kota terdekat dari tempat TBP berdiri. Di kota-kota itu ada relawan menjemput pustaka, lalu mengantarkan ke sejumlah TBP. ”Ada banyak orang hebat membantu taman bacaan ini,” tuturnya.

Kendala
TBP tidak selalu berjalan lancar. Salah satu TBP di NTT pernah tidak bisa diakses anak-anak karena lemari penyimpanan dikunci pemilik rumah. ”Saya tahu waktu mau rotasi koleksi. Saya tak melihat anak-anak dan buku-bukunya licin-licin seperti tidak pernah dibuka. Saya sudah merasa enggak enak dan ada yang enggak beres,” ujar Nila.

Ternyata anak-anak jarang datang ke TBP karena nelayan yang dititipi buku lebih sering mengunci lemari dan kuncinya dibawa melaut. Nelayan itu khawatir buku-buku rusak karena dibaca anak-anak tanpa pengawasan pengelola. ”Saya lebih suka buku-buku rusak karena dibaca daripada tetap licin di lemari,” tuturnya.

Nila juga sedang mencari cara membuat yayasan untuk menaungi TBP, yang selama ini berjalan tanpa badan hukum. ”Dulu saya berpikir, yang penting jalan dulu. Enggak usah repot soal badan hukum dan lain-lain,” ujarnya.

Namun, semakin banyak koleganya menyarankan TBP dinaungi yayasan. Alasannya, dampak TBP akan terus terbatas karena kemampuan pengelolanya terbatas. Sementara untuk melibatkan pihak lain, ada syarat-syarat harus dipenuhi. ”Saya pikir, saran mereka benar juga. Banyak program CSR perusahaan bisa dimanfaatkan kalau TBP dinaungi yayasan,” tuturnya.

”Saya sedang pelajari dulu caranya, untung-ruginya. Kalau benar-benar perlu, nanti dibuat yayasan atau badan hukum lain untuk menaungi TBP,” ujarnya.

Sementara sebelum ada penaung, TBP tetap berjalan. Dari satu pulau ke pulau lain, TBP didirikan. Lewat TBP, Nila mendorong anak-anak berani bermimpi tentang dunia yang jauh lebih luas, yang sama sekali berbeda dari kampung mereka yang terpencil. ”Buku jendela dunia. Lewat buku, imajinasi bisa ke mana-mana,” pungkasnya.   

(Kris R Mada)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com