Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/06/2013, 14:21 WIB

"Perempuan itu kan semakin tua semakin cerewet, kebalikan dengan kaum pria yang makin tua semakin pendiam. Nah, di arisan inilah kami meledakkan kecerewetan kami, biar rumah tak terlalu berisik lagi," ungkap Mirah disambut derai tawa teman-temannya.

Arisan juga menjadi tempat berkarya sosial mereka. "Setiap kami arisan, kami menyisihkan 10 persen uang arisan untuk kegiatan sosial,” ucap Ojie. Kegiatan sosial dipusatkan pada pendidikan anak-anak jalanan, serta anak-anak miskin yang sedang sakit keras.

Agar tidak salah sasaran terhadap target yang akan dibantu, setiap anggota blusukan menemui target. "Ada teman yang senang blusukan mengamati gedung-gedung sekolah yang rusak, ada teman yang senang keluar masuk rumah sakit, ada teman yang suka menemui anak-anak jalanan. Hasilnya, kami telah merenovasi beberapa sekolah pemulung di Bintaro, di sekitar Kelapa Gading, serta di beberapa lokasi lain di pinggiran Jakarta. Kawan-kawan yang bergerak di bidang usaha semen dan properti biasanya yang kroyokan memperbaiki atap, konstruksi bangunan, dan tembok sekolah," papar Ojie.

Terakhir, kata Mirah, mereka memberi sumbangan darurat kepada seorang anak dari keluarga kurang mampu yang menderita anemia. Sumbangan darurat ini diikuti sumbangan biaya perawatan anak tersebut. "Kami juga memberi bantuan rutin makanan untuk anak-anak jalanan, serta pengelolaan sekolah akhir pekan, buat mereka," lanjut Mirah.

Buat The Right Path, arisan juga menjadi ajang pemasaran yang efektif. "Memasarkan produk properti lewat agen-agen pemasaran resmi, prosesnya sering lama, jumlah pertanyaan yang disampaikan, banyak. Repot. Lebih cepat dan praktis lewat arisan ini," ucap Metta, pemilik sejumlah produk properti. Hal senada disampaikan Ojie, Mirah dan kawan-kawan The Right Path lainnya.

Menurut Ojie, The Right Path tidak mendadak terbentuk dan muncul. "Sebagian kami adalah para perempuan pecinta bowling puluhan tahun lalu. Kami berpisah setelah kegiatan bowling surut dan masing-masing tenggelam dengan urusan rumah tangga yang kala itu sedang tumbuh,” ucap Ojie.

"Nah, sekarang kan rumah tangga kami masing-masing sudah relatif mapan. Anak-anak sudah besar dan memiliki dunia serta kesibukannya sendiri. Oleh karena itu kami bisa ngumpul-ngumpul lagi," tambah Mirah.

Meski demikian, ajang kumpul-kumpul ini tidak pernah berlangsung hingga larut malam. "Jangan sampai suami sudah sampai rumah, kami belum tiba. Ada perasaan bersalah jika kami datang belakangan ketimbang suami," tutur Vella.

Ia mengaku, suaminya dan suami Ojie punya kebiasaan yang sama -memeriksa suhu kap mesin mobil yang dipakai istri. "Kalau kap mesin mobil masih hangat, itu artinya kami baru saja sampai rumah," kata Vella diikuti derai tawanya.

Pertemuan nan menyenangkan sore itu, ditutup dengan sajian kaum elit Hindia Belanda di era awal abad 20, rijsttafel (baca reistafel), di ruang makan utama Kunstkring. Ketika sajian keluar dengan sentuhan musik dan tari Betawi, mereka tak bisa menyembunyikan kekagumannya dan bertepuk tangan. Ketika itulah, Ruang The World of Suzie Wong, senyap. (Windoro Adi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com