Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ika Krismantari

Ibu dari Senyum Pagi dan Nyala Cakrawala, penulis yang tinggal di kampung pinggiran Jakarta. Redaktur Pelaksana Ingat65.

Mengapa Nonton Konser Coldplay ke Singapura Penting buat Emak-emak?

Kompas.com - 03/04/2017, 11:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Sabtu kemarin, saya adalah satu dari  emak-emak beranak yang memilih meninggalkan buah hati demi menonton pertunjukan konser Coldplay di Singapura.

Saya adalah satu dari rombongan ibu-ibu yang memilih menonton mas Chris Martin dan kawan-kawan beraksi di panggung ketimbang meninabobokan si kecil di tempat tidur.

Kok, tega sih? Apa enggak kasihan yah sama anak-anaknya?

Eits, tunggu dulu, sebelum menghakimi saya dan ibu-ibu yang lain yang pergi nonton, baiknya dengarkan argumentasi saya mengapa pergi menonton konser (baca: bersenang-senang) penting buat seorang perempuan yang mempunyai anak.

Ibu bahagia itu penting karena bagaimana bisa membahagiakan anak-anaknya, jika dirinya sendiri tidak bahagia.

Memang, kemudian ada yang bilang kalau ibu harus berkorban buat kebahagiaan anak. Asumsinya jika anak-anaknya bahagia, toh nanti ibunya juga akan bahagia.

Tapi bayangkan jika ibunya juga sudah  bahagia, bukankah kebahagian yang dibagikan kepada anak-anaknya akan berlipat ganda?

Saya super girang karena bisa nonton konser Coldplay setelah puasa selama beberapa tahun. Seingat saya, saya terakhir nonton konser di tahun 2011. Saya nonton konser Ben Folds ketika dia singgah di Jakarta. Waktu itu saya sedang hamil 7 bulan. Ketika itu saya bebas dari dilema pergi konser atau menjaga anak karena saya masih bisa “membawa” anak tanpa harus bayar tiket.

Untuk konser Coldplay di Singapura, saya memutuskan tidak membawa anak-anak saya nonton konser karena dua alasan.

Pertama, masalah harga tiket tentunya. Menurut saya cukup sayang mengeluarkan duit yang cukup lumayan untuk sebuah pengalaman yang belum tentu dipahami oleh anak berusia 5 tahun dan 1 tahun.

Kedua adalah masalah waktu. Memaksa mereka ikut konser berarti merampok waktu istirahat mereka di malam hari, di saat mereka seharusnya bisa tidur dan beristirahat setelah bermain di siang hari. Tidak tega benar rasanya.

Kerepotan baru

Tapi, karena tidak sampai hati meninggalkan keduanya untuk pergi ke Singapura  demi nonton konser, saya pun mengajak mereka berdua pergi terbang kesana.

Saya juga meminta bala bantuan ibu mertua saya untuk menjaga mereka sementara saya dan suami pergi nonton. 

Saya memang beruntung sekali memiliki sistem infrastruktur sosial  dalam membesarkan anak-anak saya, sebuah hak istimewa yang didapatkan oleh kebanyakan keluarga di Asia.

Tentunya keputusan membawa mereka ikut serta bersama ibu mertua datang dengan kerepotan-kerepotan baru lainnya. Untungnya saya tinggal di rumah adik saya di Singapura sehingga satu masalah terkait akomodasi terselesaikan.

Tapi kerepotan lainnya mengurus perantau-perantau kecil yang aktif ini tanpa bantuan asisten di tempat asing pun muncul. Urusan menjaga mood dan rutinitas mereka agar tetap terjaga meski berada di tempat asing merupakan tugas yang cukup berat buat kami.

Tapi niat saya untuk berbagi kebahagian dengan anak-anak merupakan hal yang sangat prinsip. Jadi, saya kekeuh membawa mereka ikut.

Jadi, sementara saya bersenang-senang di konser, anak-anak pun ikutan senang diajak jalan-jalan. Oleh karena itu, segala bentuk jenis kerepotan pun akan dijabani demi membagi kebahagiaan ini.

Tapi tetap saja, saya tidak menduga akan tetap mendapatkan kerepotan menit-menit sebelum berangkat ke konser. Setelah saya mandi dan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba si kecil rewel sekali. Dia tidak mau digendong neneknya bahkan tidak henti-hentinya meronta-ronta minta digendong saya.

Ketika dimandikan, dia pun menangis meminta saya yang memandikannya, padahal saya sudah berganti baju siap untuk berangkat. Anak yang pertama pun tak mau kalah.

Akhirnya, saya setengah kuyup ketika memandikan mereka. Setelah itu, saya langsung mengganti baju mereka dan memastikan mereka semua tenang dan senang sebelum saya berangkat.

Akibatnya, saya berangkat sedikit telat dari jadwal semula. Saya berencana berangkat awal karena harus membeli titipan merchandise dari boss di kantor. Katanya, pembelian merchandise pun juga memakan waktu karena antreannya yang lumayan, makanya saya ingin berangkat awal.

Tapi karena insiden kecil yang tak terduga, saya pun berangkat sedikit telat. Untungnya, segala hal berjalan lancar sehabis itu. Setelah membeli titipan, saya tidak perlu antre lama untuk bisa masuk ke dalam arena konser.

Kabarnya, ada yang antre dari jam 7 pagi demi mendapatkan posisi strategis untuk melihat bang Chris Martin beraksi. Tapi,  saya berpikir pasti orang tersebut tidak harus memandikan anak-anaknya sesaat sebelum berangkat konser.

Sesaat sebelum masuk, saya bisa melihat begitu banyak orang disana. Setidaknya ada 60,000 penonton datang malam itu. Bahkan ada yang rela antre di tengah-tengah hujan sambil memakai jas hujan dan payung.

Di antara antusiasme ini, saya jarang melihat anak kecil ikut. Aah, lega rasanya mendapati ternyata tidak hanya saya yang egois malam itu demi bersenang-senang tanpa si kecil.

Ibu yang egois?

Selama konser, saya girang bukan kepalang. Dari lagu pertama sampai yang terakhir, saya tak henti-hentinya bernyanyi, berjoget, berteriak, bertepuk-tangan, serasa kembali ke 10 tahun silam.  Saya tertawa tak henti, bernyanyi sepenuh hati sambil berkeringat. Bahagia sekali rasanya.

coldplay.com Salah satu konser Coldplay dalam A Head Full of Dreams Tour 2016
Mungkin banyak yang berpendapat saya adalah ibu yang egois yang meninggalkan anak-anaknya demi kesenangan sesaat.

Apalagi saya perhatikan akhir-akhir ini banyak muncul di sosial media pendapat yang memuliakan kebersamaan dengan si kecil yang dipelopori para artis dan sosialita yang mungkin tidak harus kerja kantoran dari Senin sampai Jumat.

Para ibu-ibu muda ini berkomentar bagaimana mereka menikmati kebersamaan yang tidak putus-putus dengan si kecil. Lalu, mereka berteori bahwa kedekatan yang harus dibina sedini akan menentukan kedewasaan pribadi si kecil nantinya.

Seorang artis berkata, berkat hubungan yang intim antara ibu dan anak bisa menciptakan anak yang tenang, yang hanya menangis 10 menit setiap harinya.

Wow! Betapa luang waktunya sampai bisa menghitung jumlah tangis anaknya.

Sebenarnya saya tidak masalah soal membangun kedekatan anak dengan meluangkan waktu banyak dengan mereka. Mungkin teori mereka benar adanya.

Tapi kita juga harus realistis, bahwa tidak semua ibu punya suami yang kaya dan waktu yang berjibun untuk meladeni anak mereka. Banyak yang harus bekerja dan sekolah yang saya percaya secara garis besar dilakukan untuk kebahagiaan buah hati mereka. 

Lalu, saya juga tidak sependapat ketika kebersamaan dengan anak disebut sebagai sebuah kewajiban dan dipakai untuk menghakimi ibu lain yang tidak bisa memberikannya.

Suatu hari, seorang teman mengirim pesan pribadi bagaimana dirinya galau dan sedih setelah mendapat komentar tidak sedap dari temannya di sosial media karena dirinya memutuskan untuk menaruh anaknya di tempat penitipan anak.

Si pengomentar adalah ibu rumah tangga dan anak seorang pimpinan, sementara teman saya sedang berusaha mencari kerja demi mencari duit tambahan sementara suaminya sedang sekolah.

Saya melihat betapa ibu-ibu sok tahu ini kadang-kadang menyebalkan apalagi dengan ceramahnya yang lagaknya melebihi ahli parenting.

Saya sendiri memilih melihat niat baik setiap ibu dalam membuat pilihan untuk dirinya dan anaknya. Saya percaya semua ibu baik dan selalu berupaya memikirkan dan juga memberikan kebahagiaan buat anak-anaknya.

Yang paling penting, jangan sampai kebahagiaan kita dan anak-anak ditentukan oleh ukuran orang lain.

Tetap ingat anak

Kembali ke konser, ketika saya berteriak, bernyanyi-nyanyi dan berjoget waktu konser, pikiran saya tetap tidak bisa jauh dari anak-anak yang saya tinggal.

Bahkan waktu lagu “Hymn For The Weekend” dinyanyikan, saya ingat saat ketika saya dan anak pertama saya suka menyanyikan lagu ini di dalam mobil dalam perjalanan menuju sekolah.

Saya yakin saya tidak sendiri malam itu. Ribuan ibu-ibu yang bersenang-senang malam itu pun pasti memikirkan anak-anak mereka yang mereka harus tinggal.

Satu bukti nyata, saya melihat penonton perempuan yang duduk di depan saya tetap memompa asinya sesaat sebelum konser dimulai.

Jadi menurut saya, meninggalkan anak, untuk alasan apapun baik untuk bekerja atau hanya untuk sekadar nonton konser, seharusnya tidak jadi masalah besar karena perpisahan itu hanya fisik semata.

Hati dan pikiran seorang ibu akan tertuju pada anaknya. Biarkanlah ibu bersenang-senang dengan me-time mereka  karena begitu dia kembali dia akan membawa dan membagi kebahagiaan itu ke dalam rumah dua kali lipat.

Lagipula ini semua hanya bersifat sementara, karena akan ada waktunya nanti ibu-ibu bisa membawa anak-anaknya nonton konser. Kelak, saya akan menjadi satu dari sekian ibu-ibu yang membawa anak-anaknya nonton konser.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com