Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 22 Juni 2017, 12:00 WIB
Auzi Amazia Domasti

Penulis

KOMPAS.com – Membeli baju baru menjadi kebiasaan sekalangan orang setiap menyambut hari raya Idul Fitri. Tentu, orang yang membeli baju baru ingin mengaktualisasikan diri melalui penampilannya yang semakin rupawan.

Menjelang lebaran, sejumlah rumah mode maupun toko baju di mal yang meluncurkan tren khusus bertema hari raya. Tak hanya itu, diskon besar juga ditawarkan bagi calon konsumen.

Namun, mengikuti tren sesaat tak bisa terus menerus dibiarkan. Kebutuhan mesti diprioritaskan ketimbang hasrat mengikuti tren.

Bila Anda berniat membeli baju untuk lebaran, pertimbangkanlah bahwa baju tersebut bisa dipakai di lain kesempatan. Meskipun iming-iming diskon sangat menggoda, janganlah konsumtif. Tak perlu membeli baju yang tidak Anda butuhkan.

Jangan sampai membeli baju, tapi hanya Anda pakai sekali. Kemudian, baju-baju itu teronggok di lemari atau malah dibuang. Apalagi, kalau Anda sebelumnya membeli baju dari hasil produksi fast fashion, seperti H&M.

Jurnalis sekaligus produser film True Cost, Lucy Siegel memberi komentar tentang fast fashion dalam kunjungannya ke Jakarta pada 2014. Dikutip dari Harian Kompas, Sabtu (25/03/2017), Siegel menyarankan untuk membeli baju dan produk mode lain ketika yakin itu akan dipakai setidaknya 30 kali.

Industri fast fashion atau mode cepat memang tengah marak. Fast fashion mulai berkembang sejak 1990 yang diperkenalkan brand Zara.

Fast fashion dilandasi permintaan massal konsumen serta pembuatan produk mode yang bisa diproduksi dalam waktu singkat.

KOMPAS.com / ANDRI DONNAL PUTERA Suasana gelaran Jakarta Great Sale 2017 di Senayan City, Minggu (18/6/2017) malam. Ajang JGS dimanfaatkan para pembeli yang hendak membeli barang dengan diskon hingga 70 persen.
Konsumen dapat mengikuti perkembangan tren terbaru dari fast fashion ini. Prosesnya pun cepat dengan harga akhir yang lebih murah daripada brand mewah.

Mulai dari proses desain, dua hingga tiga minggu kemudian berbagai pakaian itu sudah tersedia di pasaran dan dapat dibeli. Padahal, biasanya butuh enam bulan memproduksi pakaian baru sejak dari peragaan busana di runway atau pekan mode.

Produksi fast fashion banyak berada di negara berkembang seperti Bangladesh, Vietnam, termasuk Indonesia. Ongkos tenaga kerja yang murah juga menyebabkan biaya produksi lebih murah.

Akibat kemudahan meniru desain dari panggung mode melalui foto dan berita yang muncul di internet, banyak label fast fashion yang mampu memproduksi sama persis atau hanya sebagian bentuk desain baju.

Namun, fast fashion mengundang kontroversi. Sebab, produksi ini berdasarkan gaya hidup beli-pakai-buang. 

Selain maraknya plagiarisme desain, soal upah tak layak dan keamanan tenaga kerja yang terabaikan jadi sorotan.

Seperti tragedi Rana Plaza tahun 2013 lalu. Harian Kompas, Sabtu (25/03/2017), mengabarkan gedung berlantai delapan di Dhaka, Bangladesh runtuh. Sekitar 1.100 pekerja garmen tewas dalam peristiwa itu.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau