Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi

Kompas.com, 16 September 2018, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Salah satu fungsi puskesmas sebagai lini terdepan garda penjaga kesehatan di bawah seksi ‘Kesehatan Lingkungan’ memiliki hak mengawasi dan melakukan penindakan demi upaya preventif dan promotif.

Tapi apa mau dikata, upaya pencegahan selalu menjadi bahan tertawaan bahkan ledekan dimana-mana. Yang salah biasanya lebih galak – itu normalitas baru yang kini berlaku.

Yang berjualan diberitahu baik-baik, diajari cara memilih bahan dan mengolah yang lebih sehat serta kemasan yang higienis, malah balik nembak, ”Ah teori lu, tahu apa soal dagang. Selama ini enggak ada tuh yang ngeluh, boro-boro jadi sakit! Sakit mah suratan Yang Kuasa, kalo emang dasarnya kudu sakit mah sakit aja,...” – biasanya petugas kesehatan mundur teratur takut bernasib sama seperti satpol PP.

Baca juga: Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?

Pembiaran yang juga sudah menjadi normalitas baru ini suatu hari akan mendulang nestapa – yang belum tentu rakyat jelata paham bahwa jika diusut ternyata mempunyai hulu dan muara yang mempunyai rentang cukup jauh tapi berkorelasi signifikan.

Saat kantin di sekolah-sekolah negara maju sudah tidak lagi menyediakan makanan instan dan minuman bersoda, di sini berbagai kemasan dan botol plastik sarat produk ultra proses mengisi etalase warung milik sekolah (bukan tukang jualan di luar gerbang!).

Mengembalikan para siswa kita mengonsumsi buah, sayur dan berbagai lauk tradisionalnya barangkali butuh beberapa generasi – setelah mereka terdampak masalah kesehatan dengan segala harga yang harus dibayar.

Saat anak-anak Papua sudah makan nasi kuning dengan lauk mi goreng dan menjadi gemuk-gemuk karenanya, tidak heran dalam 10 tahun terakhir ini angka obesitas di sana meledak dua kali lipat pada wanita di atas 18 tahun dengan risiko sindroma metabolik dalam waktu dekat.

Baca juga: Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya

Entah lidah yang sudah melekat dengan nasi dan mi butuh berapa generasi untuk dikembalikan mampu mengunyah ikan yang lebih sehat dengan papeda – yang kini menjadi makanan eksotis, tinggal jadi sejarah gourmet yang instagramable.

Bukan hanya sandang dan pangan. Di bidang papan pun, bangsa ini anehnya minder punya rumah kayu dan bambu. Bahkan, standar kemiskinan menentukan hadirnya rumah batu sebagai batas lepas status miskin.

Padahal, yang bertahan diguncang gempa adalah rumah berkonstruksi kayu dan bambu, yang jika dibangun dengan teknologi tepat guna akan jadi hunian papan atas.

Orang desa di negri kita malah malu masih punya tiang kayu, mereka banting tulang kerja serabutan di kota hanya demi mengganti tiang rumahnya dengan tumpukan bata dan semen. Dan saat gempa melanda, semuanya luluh lantak tak bersisa – hasil keringat yang lewat begitu saja.

Baca juga: Gempa Lombok: Bukan Sekadar Retaknya Jalanan dan Runtuhnya Rumah

Literasi, cara berpikir kritis, dan kemampuan olah informasi menjadi hal yang teramat krusial bagi bangsa yang serius ingin membangun masa depan mapan, bukan maket ilusi rumah kertas dengan fondasi getas.

Atau, akhirnya kita hanya melihat anak-anak di pelosok yang kelihatan gemuk akibat makan apa saja, tapi tidak tumbuh tinggi, apalagi berotak cerdas. Istilahnya, stunted obese.

Grafik mengarah ke sana sudah ada, hanya saja awam tidak memantaunya. Tahu-tahu kita membaca di berita online: “Tidak terima dilarang jajan, anak menikam ibunya” atau “Tidak mampu meneruskan sekolah, bocah SMP memilih dinikahkan” atau “Tidak sanggup menanggung penyakit diabetesnya, seorang remaja mencoba bunuh diri”.

Dan makin hari berita-berita seperti itu kian mengerikan - jika kita tidak temukan solusi akibat teknologi dan informasi semua aspek kehidupan yang diadopsi tanpa literasi.

Baca juga: Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau