Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi

Kompas.com, 16 September 2018, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Kecepatan edar informasi belakangan ini sungguh amat mencengangkan, memang. Yang unik, orang Indonesia bukan hanya menerima informasi sebagai kabar yang layak dikaji atau pengetahuan yang dikritisi, tapi perilaku cepat meniru apalagi yang membuat hidup kelihatan ‘lebih keren’ – minimal tampil beda.

Seperti kata orang, mau jualan apa pun di Indonesia, dijamin pasti untung. Selain koridor aturan yang longgar – atau hampir tidak ada – juga norma kultur yang begitu terbuka selama jangan menyenggol urusan SARA.

Sebut produk konsumsi orang Indonesia masa kini, mulai dari sandang – pangan – papan. Sejak bayi pun sudah terdampak.

Siapa yang ‘hari gini’ masih mencuci popok? Bahkan di daerah terdampak bencana, bayi-bayi mendapat sumbangan popok sekali pakai buang.

Yang aneh, sekarang kita kerepotan sendiri mengatasi limbah popok-popok menjijikan bekas pakai ini, yang menggunung di antara tumpukan sampah.

Baca juga: Niat Cepat Sehat: Kebiasaan Memberi Kail atau Ikan?

Jangan bicara soal penggunaan produk plastik. Itu lebih lucu lagi. Seakan-akan yang salah plastiknya, sehingga begitu banyak orang anti menggunakan bahan plastik. Padahal, masalah terletak di pembuangannya. Dan solusi pendauran-ulangnya.

Ini mirip dengan kasus ibu hamil berisiko terkena infeksi parasit bernama toksoplasma. Yang disalahkan sayur lalapnya.

Bukan kejorokan hidup akibat tidak menerapkan PHBS, pola hidup bersih dan sehat, sebagaimana didengung-dengungkan pemerintah.

Padahal. kebanyakan calon ibu menderita toksoplasmosis tidak mendapatkan parasitnya akibat makan lalap, melainkan jajan bakso pinggir jalan atau siomay pas ngidam.

Baca juga: Kurus, Gizi Buruk, Stunting: Wajah Ngeri Anak Indonesia

Di bidang telekomunikasi lebih parah lagi. Mampu beli ponsel jutaan bahkan belasan juta rupiah – ujung-ujungnya hanya untuk berfoto ria dan mengeditnya agar tampak cantik dan genit diunggah ke media sosial.

Nah medianya pun yang tadinya dimaksudkan untuk ‘internet working’ – atau minimal seperti istilah orang Jawa: ‘ngumpulke balung pisah’ alias silahturahim bagi mereka yang sudah tercerai berai – ah, malah kini digunakan sebagai sarana cepat saling hujat.

Pangan instan, yang tadinya tercipta untuk kondisi terdesak – alias kepepet – kini malah setiap hari nampaknya dijadikan normalitas yang baru.

Suatu transformasi budaya yang akhirnya berbenturan dengan kebutuhan fisik yang tidak mengenal istilah kekinian – suatu hari akan menuai badai.

Baca juga: Antara Tom Cruise, Badan Bagus dan Mood Oke Terus

Beberapa bukti sudah kelihatan nyata, cukup mengerikan. Literasi rendah dibarengi dorongan meniru membuat orang membabi buta melakukan apa saja, termasuk merusak hidupnya sendiri.

Satu hal yang sedang saya amati di saat ekonomi sedang melilit dan orang tidak lagi terbiasa mengolah pangannya sendiri di rumah, maka akan muncul makanan-makanan berharga murah yang tidak terkontrol isinya.

Apalagi, di Indonesia semua orang berhak buka lapak di depan rumahnya. Mulai dari jualan nasi campur hingga es mambo aneka warna.

Suatu hari, apabila pemerintah memberlakukan ijin berjualan makanan, mereka akan berteriak merasa terdzolimi dan hak mencari nafkahnya terganggu.

Sebetulnya kita sudah mempunyai perangkat atau sebutlah sistem yang mempunyai kewenangan mengontrol, walaupun belum seketat negara maju.

Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau