Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taaruf di Dunia Maya, Saat "Mimin" Jadi “Mak Comblang”

Kompas.com - 04/08/2019, 06:00 WIB
Nibras Nada Nailufar,
Heru Margianto

Tim Redaksi

 

"ALHAMDULILLAH setelah menikah hidup saya lebih terarah dan lebih bahagia. Ketika kita memutuskan telah siap untuk menikah, dan menginginkan sebuah pernikahan yang penuh keberkahan. Tentunya proses yang dipilih juga harus proses yang baik, salah satunya dengan jalan taaruf, bukan pacaran. Walaupun awalnya terasa asing tapi setelah menikah dan saling mengenal, kasih sayang hadir dengan sendirinya," tulis Dena di halaman testimonial rumahtaaruf.com

Dena menikah dengan suaminya Tomy di Garut pada 15 November 2014 lalu. Keduanya bertemu berkat situs itu. Mereka sama-sama mencari pasangan hidup dan akhirnya diperkenalkan.

Sejak pertemuan pertama yang didampingi moderator dan keluarga Dena, keduanya sudah memikirkan untuk menikah kendati belum mengenal satu sama lain.

"Pada pertemuan silaturahmi kita, banyak hikmah yang bisa kita ambil, di antaranya bisa memperluas silaturahmi itu sendiri, bertukar pikiran, dan kita selalu belajar untuk menempuh hal-hal yang syar'i di dalamnya salah satunya yaitu ber-ta'aruf," kata Tomy.

Baca juga: Kenapa Mereka Lebih Nyaman Cari Jodoh di Aplikasi?

"Memang masa pranikah kesannya agak kaku di awal namun pasca-menikah alhamdulillah semuanya berjalan lancar dan kami merasa senang telah bersatu bersama dalam menggenapkan dien, sehingga hidup ini semakin berarti dan memiliki arah yang pasti," lanjut dia.

Tri Wahyu Nugroho, pendiri situs Rumah Taaruf mengatakan setidaknya ada 1.000 ikhwan atau laki-laki dan 2.8000 akhwat atau perempuan yang pernah mendaftar sebelum menemukan jodohnya.

Saat ini, yang statusnya aktif atau masih mencari sekitar 1.000 ikhwan dan akhwat.

"Hingga hari ini yang lanjut prosesnya sampai menikah ada 68 pasangan dan 3 pasangan sudah lamaran," kata Wahyu kepada Kompas.com, Kamis (1/8/2019).

Proses Taaruf

Proses taaruf yang ditawarkan tak jauh berbeda dengan taaruf konvensional. Di situs Rumah Taaruf, prosesnya diawali dengan pertukaran biodata dan sesi tanya jawab yang difasilitasi secara online melalui perantara atau admin.

Tanya jawab lewat e-mail dibatasi tiga sesi bertanya untuk akhwat dan dua sesi bertanya untuk ikhwan. Satu sesi maksimal lima pertanyaan.

Setelah itu, prosesnya sama seperti taaruf biasa.

Ikhwan diantar oleh admin untuk nadzor atau bertemu dengan akhwat yang dipilihnya dengan didampingi orang tua atau wali akhwat.

Jika cocok, bisa dilanjutkan dengan bertunangan hingga menikah.

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

Wahyu mengklaim situs Rumah Taaruf bersifat nonprofit atau tidak mencari keuntungan. Pendaftar tidak dikenakan biaya. Ia dan para pengelola serta admin lainnya hidup dari profesi lain.

Admin yang menjadi perantara umumnya adalah alumni dari Rumah Taaruf yang sudah berumah tangga.

"RumahTaaruf.com dikelola di luar jam kerja mereka dengan misi sosial untuk menebar manfaat bagi sesama," kata Wahyu.

Terinsipirasi Tinder

Berbeda dengan situs Rumah Taaruf, aplikasi Taaruf Online yang baru diluncurkan awal tahun ini mengenakan infaq bagi penggunanya Rp 200.000. Jika nadzor pertama gagal, nadzor selanjutnya dikenakan biaya Rp 100.000.

Pendirinya, Muhammad Mirza Firdaus mengatakan biaya itu dibutuhkan untuk pengembangan aplikasi.

Sejak pertama muncul hingga saat ini, sudah ada 1.369 ikhwan yang mendaftar dan 2.314 akhwat. Ada 34 pasangan yang taaruf, satu di antaranya sudah melangsungkan pernikahan.

Adapun ide awalnya bermula dari pengalaman Mirza sendiri.

Jika dulu ia masih mencari pasangan dengan cara pacaran, tahun lalu Mirza menikah lewat taaruf setelah memutuskan untuk berhijrah dua tahun lalu.

Dari beberapa kajian yang didatanginya, Mirza menemukan keresahan yang sama di teman-temannya.

"Kesulitan dari teman-teman ternyata gimana caranya biar bisa kenalan tanpa harus kenalan. Sementara, dari beberapa teman-teman agak malu pertamanya, sungkan untuk meminta ustaz meskipun ustaz punya database atau calon," ujar Mirza.

Melihat adanya kebutuhan itu, Mirza dan dua orang temannya merancang aplikasi taaruf.

Ia berkonsultasi dengan para ulama untuk menurunkan konsep taaruf dan aturannya ke dalam genggaman tangan.

Tinder menjadi inspirasinya

Kalau Tinder, kata dia, kan banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, walaupun ada juga yang menemukan jodohnya di sana. Baca juga: Aplikasi Kencan, Teman Tidur Satu Malam hingga Jodoh dalam Genggaman Tangan

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

"Tapi di sini saya buat yang sesuai ajaran Islam, yang tanpa pacaran," kata Mirza.

Jika Tinder menonjolkan foto pengguna untuk kemudian di-swipe kanan atau kiri, di aplikasi Taaruf Online tak ada foto. Hanya ada pilihan mengirimkan biodata atau CV jika ingin berkenalan.

"Tujuannya tidak ada foto, karena kami ingin memuliakan perempuan. Kami tidak ingin orang hanya menilai fisik saja. Tapi kan ada inner beauty atau inner handsome yang lebih penting," ujar Mirza.

Sama seperti Rumah Taaruf, kegagalan di aplikasi Taaruf Online biasa terjadi di tahap pertukaran biodata atau ketika melihat foto.

Selain itu, gagal juga biasa terjadi di pihak keluarga akhwat.

Kendati demikian, Mirza menampik anggapan taaruf seperti beli kucing dalam karung.

Ia mengatakan seperti halnya Tinder atau metode kencan lainnya, Taaruf memberi keleluasaan individu untuk memilih pasangan sesuai harapan, lalu memberi kesempatan untuk pendekatan yang tentunya sesuai syariat Islam.

Baca juga: Di-ghosting hingga Dirampok, Pengalaman Buruk Jalani Kencan Online

Mirza dan kawan-kawan kini masih berusaha untuk mengenalkan konsep taaruf. Menurutnya tak ada yang perlu ditakuti atau dikhawatirkan.

"Kalau pernikahan itu dimulai dengan cara yang baik, pasti hasilnya akan baik juga," kata dia.

Tren hijrah

Menariknya, pengguna aplikasi Taaruf Online banyak yang berasal dari kota metropolitan.

Selain Semarang yang jadi basis Taaruf Online, Jakarta Selatan menempati peringkat kedua kota dengan pengguna terbanyak, sebanyak 157 orang.

Menyusul kemudian Jakarta Timur, Bekasi, dan Bandung.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliah menduga gerakan hijrah dan pasarnya tumbuh subur seiring dengan kebangkitan kelas menengah di perkotaan.

"Naiknya kelas menengah Indonesia dan adanya semacam kehausan untuk belajar agama, tetapi di sisi lain tidak mau terlibat dalam organisasi seperti Muhamamdiyah dan NU. Di sini faktor globalisasi di mana orang ingin kembali kepada agama menjadi suatu yang penting juga," ujar Wahyudi.

Menurut Wahyudi, banyak kelas menengah yang ingin belajar agama dan menjadikan agama sebagai solusi persoalan hidup.

Fenomena mendekatkan diri ke agama ini, kata Wahyudi, menciptakan pasar untuk berbagai kebutuhan hidup. Mulai dari pakaian, makanan, properti, hingga urusan jodoh.

"Saya menyebut fenomena ini sebagai Pop-Islamisme, di mana orang menggunakan medan budaya pop untuk ideologi islamisme mereka," kata Wahyudi.

"Di sini, tautan antara pasar yang membentuk identitas dan simbol-simbol mereka dengan agensi para ustaz online yang membentuk itu, dengan mengikuti pola perkembangan platform media sosial di internet," lanjutnya.

Bukan tak mungkin, sarana taaruf online akan tumbuh besar bersaing dengan Tinder dan aplikasi pencari jodoh sejenis.

Bagimu jodohmu, dan bagiku lah jodohku.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com