Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Sehat Dulu Baru Cari Uang atau Cari Uang Buat Sehat?

Kompas.com - 02/12/2020, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebetulnya ini bukan pertanyaan yang layak dijadikan polemik. Apalagi jika didompleng suatu kepentingan yang ‘maksa’.

Di tengah zaman yang penuh hingar bingar informasi seputar jurus sehat yang bikin pusing kepala (dan akhirnya tetap tidak sehat juga) lalu publik menjadi apatis – dan memilih hidup seadanya, yang penting kantong tak kering.

Dan dengan kantung penuh banyak orang menganggap semua bisa dibeli, termasuk obat paling mahal dan layanan rumah sakit berkelas.

Baca juga: Mengapa Diet Gagal dan Usaha Jaga Makan Berantakan?

Saya jadi teringat pembicaraan sekian belas tahun yang lalu dengan salah seorang taipan di Singapura – negri yang membanggakan kualitas layanan kesehatannya.

Ia berkata,”Tidak apa-apa kita nikmati hidup di masa muda, sepuas-puasnya selagi bisa, biar tidak menyesal di hari tua. Dan di masa muda itu cari uang juga sebanyak-banyaknya, selain buat bersenang-senang juga tabungan jika sakit nanti. Lihat orang yang tak punya uang: sudah hidupnya susah, mau mati pun susah!”.

Saya tercenung cukup lama saat itu. Tak lama kemudian salah seorang kerabat menertawakan pekerjaan saya yang dianggapnya seperti memindahkan air laut dengan sendok.

Ia sama sekali tak merasa perlu repot-repot memikirkan apa yang dimakannya sehat atau tidak. Menurutnya, jatuh sakit ibarat nasib. Tak perlu pula utak atik statistik.

Ada orang yang seumur hidupnya berusaha keras ‘hidup sehat’ faktanya tidak bahagia, bahkan tersisih dari pergaulan, karena cara makan yang aneh dan tidur ‘kepagian’, sementara orang lain masih menikmati hiburan malam.

Dan, ia menambahkan – semua orang pasti mati – dan ‘saya tidak mau jadi mayat paling sehat di kuburan’.

Barangkali orang-orang seperti itu hanya melihat lingkaran kecil dalam hidupnya. Bahkan ‘kenikmatan’ jangka pendek, sependek pemahamannya tentang ‘urip sing murup’ – istilah Jawa tentang hidup bernyala penuh dengan gairah dan semangat.

Mencari uang dengan gairah dan semangat justru bisa terjadi jika orangnya sehat. Sehat bukan hanya sekadar bebas dari penyakit, tapi juga literasinya, pemahamannya, perilakunya.

Alhasil uang yang didapatkan pun dapat digunakan untuk meneruskan hidup yang lebih bermanfaat sekaligus hemat, karena rongrongan penyakit tidak menempati pos pengeluaran yang terbesar dalam keluarga.

Baca juga: Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Peluang mencari uang tanpa dimulai dari hidup yang sehat, berpusar menciptakan lingkaran setan.

Seperti dikutip dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019 yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik 2020, rata-rata pengeluaran kelompok makanan per kapita per bulan ranking tertinggi dikuasai makanan dan minuman jadi 17.26% (naik dari 14.14%), urutan ke dua dengan amat mengejutkan direbut rokok (6.05%) dan posisi ketiga baru padi-padian (5.57%) – yang justru menurun dibanding 2016 (6.82%). Apakah orang Indonesia lebih mementingkan merokok ketimbang memenuhi makanan pokoknya?

Sangat ironis bila kita amati konsumsi rokok ini hampir dua kali lipat ketimbang konsumsi sayuran (3.25%) dan ikan (3.89%).

Saat rokok naik peringkat, mirisnya belanja sayur justru menurun dibanding 2016 (3.65%).

Beberapa fakta angka seperti ini, akan semakin mengerikan apabila pendapatan kian meningkat.

Kemampuan menghasilkan uang tidak sebanding dengan derajat kesehatan yang sama sekali tidak diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang.

Orang menghabiskan uangnya untuk produk-produk konsumsi yang sama sekali tak dibutuhkan tubuh, kecuali demi pamer bisa makan sesuai tren.

“Duo mematikan” kian mengerikan saat peningkatan penghasilan dihadapkan rayuan iklan.

Apabila pemerintah juga tidak meletakkan derajat kesehatan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan atau salah kaprah menilai makna ‘derajat kesehatan’ hanya sekadar canggihnya fasilitas kesehatan, maka pembangunan manusia seutuhnya akan menuju jurang krisis.

Baca juga: Ketika Keterampilan Hidup Akan Menjadi Gaya Hidup

 

Tidak banyak orang menyadari, bahwa orang tua yang terpapar edukasi adalah mereka yang mampu memilih bahan pangan yang baik, meracik dengan benar, dan mengolah dengan cara yang sehat.

Bukan memilih daftar menu jasa layanan antar atau tinggal memanaskan produk ajaib yang katanya tinggi protein dan serat.

Sudah waktunya Indonesia belajar dari negara-negara lain yang sempat mengalami jatuh bangun menata pola konsumsi rakyatnya dan harga mahal yang harus dibayar, saat murid SD mengira saus tomat adalah kategori sayur (karena ngotot ada kata ‘tomat’nya).

Begitu pula ketika kita mendorong masyarakat meningkatkan asupan sayur dan buah, apabila tidak disertai pemahaman dan kontruksi cara berpikir yang masuk akal, maka konsumsi sayur dan buah akan menjadi kebiasaan mewah, karena hidup sehat diandaikan perlu berlangganan jus untuk proses ‘detoks’ atau menyisipkan aneka ‘superfood’ impor ke dalam blenderan.

Baca juga: Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

Padahal, sayur dan buah sudah sempurna tercipta seperti apa adanya. Dan tidak ada kurikulum ‘manajemen detoks’ di program studi ilmu gizi maupun fakultas kedokteran di mana pun.

Mengondisikan masyarakat hidup sehat sehingga mereka bisa cari uang yang akan bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik (bukannya diboroskan lagi untuk ‘menambal’ tubuh yang didera penyakit akibat gaya hidup ngawur), ibaratnya seperti memulihkan seorang anak yang menderita infeksi cacing sebelum mengejar keterlambatan tumbuh kembangnya.

Merupakan tindakan sia-sia menjejali anak cacingan dengan segala sumber nutrisi, sementara parasitnya belum ditangani.

Alih-alih sang anak menjadi sehat, berbagai asupan pangan dan suplemennya justru menjadi penyubur koloni cacing dalam ususnya.

Pentahelix yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, akademisi, media dan pelaku industri sebagai upaya penanggulangan masalah gizi belum menampilkan hasil signifikan yang secara nasional bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan.

Pelibatan pelaku industri dan pebisnis terlalu sulit untuk benar-benar bisa disebut ‘bersih’ dari kepentingan, minimal dengan pencantuman logo, yang akhirnya menjadi iklan terselubung yang dengan mudah dikenali publik sebagai benang merah produk yang iklannya tanpa kendali mengalir, ketimbang edukasi sesungguhnya yang memberdayakan masyarakat dengan segala kekayaan lokalnya.

Sungguh, begitu banyak pekerjaan rumah yang masih menumpuk terbengkalai atau butuh revisi akibat lalai.

Perlu kerjasama yang tujuan satu-satunya demi kepentingan rakyat Indonesia. Mengendorkan nafsu mencari untung, ibaratnya memberi kesempatan orang lain menabung.

Sehingga, keluarga Indonesia menemukan otentisitas makna sehat sesungguhnya, bangga akan kearifan lokalnya, dengan demikian sehat dan berdaya bukan lagi mimpi.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com