KOMPAS.com - Semakin banyak negara mulai melegalkan ganja untuk keperluan medis. Bahkan, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menghapuskan ganja dari kategori obat adiktif dan berbahaya.
Penelitian-penelitian terbaru tentang manfaat ganja memang mendasari keputusan tersebut. Mungkin Anda pernah mendengar ganja atau produk turunannya mampu menyembuhkan penyakit yang berkaitan dengan otak, gangguan kecemasan, depresi, atau bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Meski demikian, manfaat ganja bagi kesehatan mental dianggap kurang meyakinkan. Studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet, menyebut bukti ganja bisa bermanfaat bagi kesehatan mental sangat rendah.
Brian Barnett, MD, psikiater yang tidak ikut ambil bagian dalam studi tersebut mengatakan, berdasarkan studi yang ada saat ini penggunaan ganja atau produk terkait untuk mengobati kesehatan mental tidak dapat dibenarkan.
"Studi tersebut mengamati penggunaan ganja untuk pengobatan gangguan kejiwaan lain dan tidak ada bukti kuat saat ini bahwa ganja atau turunannya efektif untuk depresi, ADHD, sindrom Tourette atau PTSD," katanya.
Baca juga: PBB Putuskan Ganja Masuk Golongan I Narkotika, Bagaimana di Indonesia?
Para peneliti meninjau 83 studi yang mengamati efek ganja sebagai obat, ganja sintetis, dan produk turunan ganja.
Mereka mempelajari dampak produk ganja pada enam kondisi kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, gangguan perhatian-defisit hiperaktif (ADHD), sindrom Tourette, gangguan stres pasca-trauma dan psikosis.
Studi itu tidak menemukan bukti kuat bahwa semua jenis ganja bisa digunakan untuk pengobatan kesehatan mental. Para peneliti mencatat, studi yang ditinjau kecil dan berkualitas rendah.
Barnett percaya, studi berkualitas tinggi diperlukan untuk menentukan apakah ganja dan produk terkait efektif dan aman untuk mengatasi masalah kesehatan mental.
Dia juga mengatakan, seseorang harus waspada terhadap risiko yang diketahui terkait ganja.
"Kita tidak tahu banyak manfaat kesehatan yang potensial, tapi kami tahu risiko ganja termasuk kecanduan," kata Barnett.
"Kami melihat peningkatan jumlah orang yang datang ke ruang gawat darurat karena ganja dilegalkan dalam berbagai konteks. Ganja lebih kuat dalam hal kandungan THC dibanding dahulu yang dapat menyebabkan banyak reaksi merugikan," tambahnya.
Ia menyarankan masyarakat mengenai pentingnya berkonsultasi dengan dokter sebelum melakukan pengobatan dengan ganja atau produk turunan ganja.
Baca juga: Larangan Merokok di Apartemen, tapi Ganja Diperbolehkan
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.