Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - Diperbarui 25/12/2022, 06:25 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber rd.com

Tidak sampai tiga setengah abad setelah kelahiran Yesus, tanggal 25 Desember dipilih sebagai hari kelahiran-Nya.

Paus Julius I memilih tanggal tersebut pada 350 M dan diresmikan pada 529 M, dan Kaisar Romawi Justinianus menyatakan Natal sebagai hari libur nasional.

Pemilihan tanggal 25 Desember tentu saja tidaklah sembarangan.

Banyak sejarawan percaya, Paus maupun Kaisar menyukai tanggal ini karena bertepatan dengan festival pagan yang merayakan titik balik matahari musim dingin.

Ada pun, perayan ini telah berlangsung selama berabad-abad, yang ditandai titik balik matahari musim dingin pada 21 atau 22 Desember, tergantung pada tahun.

Menggabungkan Natal dengan perayaan kuno memungkinkan Gereja Katolik untuk mempertahankan tradisi liburan musim dingin sambil memfokuskan hari raya yang baru.

Menurut beberapa teori, pemilihan tanggal 25 Desember juga tidak bisa dilepaskan dari tanggal di dekat hari terpendek dalam setahun.

Pasalnya, sesudah pergantian tahun, matahari akan terbit semakin terang dan ini menjadi simbol bagaimana Yesus tumbuh dari bayi menjadi sosok spiritual yang diagungkan.

Natal dijadikan hari libur

Perayaan Natal awalnya menggabungkan tradisi pagan dan Gereja Katolik. Ini bisa dimanfaatkan untuk menggelar berbagai kegiatan.

Sejarah Natal dijadikan hari libur, salah satunya bermula saat Presiden Ulysses S. Grant menetapkan hari raya ini sebagai libur nasional di Amerika Serikat pada tanggal 26 Juni 1870

150 tahun kemudian, warga AS telah menciptakan perayaan Natal mereka sendiri dengan cara yang unik. Seperti, mengadopsi tradisi budaya lain dan menciptakan beberapa tradisi baru.

Banyak keluarga memiliki tradisi masing-masing untuk menambah makna dan sukacita Natal.

Beberapa orang mengisi Natal dengan mengikuti misa atau kebaktian. Tapi, sebagian besar perayaan Natal di AS saat ini berfokus pada kegiatan yang lebih sekuler.

Di Negeri Uncle Sam, tercatat 90 persen warganya merayakan Natal. Namun, menurut survei Pew Research Center, kurang dari setengah persentase tersebut yang mengaku merayakan Natal karena alasan agama.

Tradisi Natal

Natal identik dengan banyak hal, salah satu yang paling ikonik adalah kehadiran Sinterklas.

Sosok pria berkostum merah ini awalnya bermula dari kisah seorang biarawan sederhana bernama Santo Nicholas, yang berasal dari Myra -saat ini masuk wilayah Turki- sekitar tahun 280 M.

Ia dikenal karena kedermawanannya, yang suka membagikan harta bendanya kepada anak-anak, orang miskin, dan yang membutuhkan setiap tanggal 6 Desember.

Oleh sebab itu, Santo Nicholas ditetapkan sebagai santo pelindung anak-anak dan tanggal 6 Desember dipilih untuk merayakannya.

Ketenaran Sinterklas mulai meluas ketika W. Irving pada tahun 1809, memasukkan namanya dalam bukunya yang berjudul "The History of New York".

"Sint Nikolaas" yang merupakan bahasa Belanda untuk Santo Nikolas, kemudian disingkat menjadi "Sinter Klaas".

Dalam perkembangannya, Sinter Klaas lagi-lagi berubah dan populer dengan sebutan Santa Claus.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com