Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Imposter Syndrome, Gejala, dan Cara Menanganinya

Kompas.com - 06/04/2022, 08:09 WIB
Anya Dellanita,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pernah merasa bahwa kita tak cukup berusaha dalam suatu pekerjaan atau merasa bahwa kita tidak mampu menjadi orang dewasa yang bisa membeli sebuah rumah?

Jika iya, mungkin kita mengalami imposter syndrome.

Imposter syndrome merupakan sebuah fenomena di mana kita meragukan atau merasa tak pantas meraih sesuatu atau mendapatkan pencapaian dalam hidupnya.

“Ini adalah semacam perasaan tidak percaya diri,” jelas psikolog Susan Albers, PsyD.

Imposter syndrome ini dialami cukup banyak orang, dengan sebuah studi memperkirakan bahwa 7 dari 10 orang dewasa, baik pria dan wanita sempat mengalaminya.

Menariknya, mereka yang mengalami imposter syndrome biasanya merupakan pekerja keras dan perfeksionis, seperti dokter, pengacara, guru, atau selebritas.

Gejala imposter syndrome

Imposter syndrome memiliki beberapa gejala, di antaranya:

  • Menyebut keberutungan sebagai alasan di balik kesuksesannya
  • Takut dianggap gagal.
  • Merasa bahwa bekerja terlalu keras adalah satu-satunya cara untuk memenuhi harapan.
  • Merasa tidak layak mendapat perhatian atau kasih sayang.
  • Meremehkan prestasi.
  • Menahan diri dari mencapai tujuan yang dapat dicapai.

Gejala-gejala tersebut bisa ditemukan dalam beberapa cara, seperti merasa bahwa kesuksesan yang diraihnya dalam pekerjaan adalah akibat keberutungan, bukan kemampuan dan etos kerjanya.

Akibatnya, ia akan sulit mendapatkan promosi.

Bisa juga merasa tak mampu merawat dan membesarkan anaknya. Jika dibiarkan, orangtua seperti ini akan kesulitan menentukan pilihan bagi anak-anaknya karena takut menghancurkan hidup anak.

Pada anak, imposter syndrome ini juga bisa muncul, misalnya terkadang seorang siswa tak mau menanyakan sesuatu karena takut teman-temannya menganggap bahwa ia bodoh.

Sementara itu dalam suatu hubungan, terkadang beberapa orang merasa tak pantas menerima kasih sayang dari pasangannya.

Nah, perasaan itu bisa menyebabkan kecemasan dan stres. Bahkan, sebuah studi yang diterbitkan dalam National Library of Medicine mengatakan bahwa performa penderita imposter syndrome dapat menurun dan burnout pun meningkat.

Tak hanya itu, kondisi ini kerap dikaitkan dengan depresi dan gangguan kecemasan.

Untungnya, Dr. Albers menawarkan tiga cara untuk menangani imposter syndrome ini. Berikut daftarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com