Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Laurentius Purbo Christianto
Dosen

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Belajar Gagal secara Kesatria

Kompas.com - 22/02/2024, 15:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu adegan epik dalam kisah Mahabharata adalah permainan dadu antara Yudhistira dan Sangkuni. Permainan dadu ini adalah salah satu benih pergolakan di dinasti Kuru.

Yudhistira kalah dalam permainan dadu tersebut, sehingga ia kehilangan kerajaan, jabatan, dan harga dirinya.

Bahkan gara-gara kekalahan tersebut Ia, keempat saudaranya, serta Drupadi istrinya harus pergi dari kerajaan mereka.

Mereka juga terpaksa menyembunyikan diri bertahun-tahun, menyamarkan diri sebagai rakyat kecil, dan menyangkal diri mereka.

Terlepas dari ada tidaknya kecurangan yang dilakukan Sangkuni saat permainan dadu, Mahabharata menggambarkan bahwa Pandawa dengan berani menerima konsekuensi kekalahan di permainan dadu tersebut.

Mahabharata malah menceritakan bahwa kekalahan tersebut membawa Pandawa ke situasi yang membuat mereka akhirnya mendapatkan keterampilan, kemampuan, dan senjata-senjata baru yang lebih keren.

Banyak faktor pendukung yang membuat Pandawa memenangkan perang melawan Kurawa, yang mereka dapatkan saat menjalani masa “kekalahan” itu.

Mahabharata adalah kisah tentang ratusan kegagalan; tetapi di dalamnya juga ada kisah tentang ribuan usaha untuk bangkit dari kegagalan. Dari sini “kesatria” didefinisikan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kesatria sebagai orang yang gagah berani.

Secara lebih luas, kesatria dapat dimaknai sebagai orang yang berani menghadapi apapun, tidak hanya musuh, tetapi juga kegagalan, tekanan, dan tantangan.

Pandawa disebut sebagai kumpulan para kesatria karena mereka berani menerima kekalahan, merelakan kejayaan mereka, menjalani "pembuangan", serta dengan tekun menghidupi konsekuensi dari kekalahan.

Setiap orang dalam hidupnya hampir pasti memiliki pengalaman gagal dan memiliki potensi yang besar untuk gagal kembali; tetapi tidak semua orang punya kemampuan untuk bangkit setelah terpuruk, gagal, dan hancur berkeping-keping.

Ada satu konsep di Psikologi yang terkait dengan hal ini, yaitu resiliensi.

Resiliensi adalah daya lenting, kemampuan manusia untuk melenting dan bangkit kembali setelah mengalami keterpurukan.

Supaya seseorang bisa melenting dari kegagalan dengan sukses, orang harus gigih, kuat, dan optimistis.

Gigih melakukan berbagai usaha untuk menggapai keberhasilan baru, kuat menjalani berbagai konsekuensi dari kegagalan yang terjadi, serta optimistis bahwa usaha yang dilakukan tidak sia-sia adalah sikap-sikap yang perlu dimiliki seseorang yang sedang melenting meninggalkan kegagalan.

Kegigihan, kekuatan, dan optimisme akan menentukan seberapa tinggi orang berhasil melenting.

Hanya saja seseorang perlu bersikap rela dan menerima untuk dapat melenting. Analoginya, kita tidak akan pernah bisa melompat dan terbang tinggi jika tangan masih memegang erat alas tempat kita berpijak.

Gagal dan jatuh terpuruk bukan hal yang mudah dilupakan, seringkali malah banyak menimbulkan trauma. Hal ini membuat bangkit dan melenting dari kegagalan atau keterpurukan menjadi tidak mudah.

Banyak orang melakukan hal ekstrem hingga bunuh diri karena gagal dan terpuruk. Mereka yang melakukan hal semacam itu membangun pemikiran bahwa dirinya sama dengan kegagalan.

Mereka tidak menerima kegagalan dan tidak pula merelakan keberhasilannya sirna. Seperti layaknya kesatria, seseorang yang resilien, akan dengan gagah berani menerima kekalahan dan merelakan “keberhasilan” yang pernah dimiliki pudar.

Rela dan menerima adalah “melepaskan” tangan yang menggenggam kegagalan agar bisa melompat dan terbang menggapai keberhasilan yang akan datang.

Masa ini penuh kompetisi, banyak dari kita sedang menjalani kompetisi. Kita bisa belajar banyak hal tentang sikap dalam kompetisi, menang, dan kalah melalui kisah Mahabharata.

Bagi yang kalah dalam kompetisi, sikap para kesatria Pandawa yang gigih, kuat, dan optimistis menghadapi konsekuensi kekalahan dalam permainan dadu bisa jadi panutan.

Menghadapi kegagalan secara kesatria tidak mudah dilakukan, bahkan mungkin berdarah-darah; tetapi sama seperti di Mahabharata, sikap kesatria mengantarkan kepada kemenangan.

Kesatria Pandawa bangkit dari keterpurukan, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini dan untuk semua orang yang mereka cintai.

Bagi Anda yang saat ini merasa gagal dan terpuruk, Anda harus bangkit tidak semata-mata demi diri Anda, tetapi demi nilai-niai yang Anda perjuangkan serta orang-orang yang mengasihi dan Anda kasihi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com