Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Program Makan di Sekolah, Apa Gizi Keluarga Sudah Dibenahi?

Kompas.com - 28/02/2024, 19:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Belakangan ini ramai dibahas perkara ‘bagi-bagi’ makan gratis di sekolah. Tidak perlu mengulik siapa penggagasnya dan milik siapa programnya, apalagi membandingkan negara-negara lain yang lebih dulu telah menjalankannya.

Indonesia unik, ‘nyentrik’ – kata anak muda angkatan saya dahulu. Tidak ada satu negri atau bangsa lain yang bisa menyamai.

Jadi, cara menganalisa segala sesuatunya pun harus dari sudut pandang khusus.

Jauh sebelum pemerintah mau campur tangan soal makan di usia sekolah, sudah cukup banyak sekolah (khususnya swasta), memberlakukan kegiatan makan bersama minimal seminggu. Saat para murid membawa bekal dengan beberapa ketentuan dari gurunya.

Baca juga: Seliweran Tontonan Kekinian soal Gizi, Saatnya Nalar Perlu Diajar

Ada yang melarang produk kemasan dan instan, ada yang mengharuskan menu sayur, ada yang tidak mengizinkan membawa minuman manis bersoda.

Tapi anehnya, hampir tidak ada sekolah yang mengharuskan orangtua membawakan anak-anaknya bekal dengan menu Nusantara.

Saya pernah mendapat keluh kesah seorang Ibu yang bingung dengan ‘menu zaman sekarang’, sebagaimana diatur oleh guru kelas anaknya.

Sebutlah mie goreng (bahan mie dari terigu yang gandumnya saja tidak tumbuh di Indonesia), spagheti bolognaise, atau nugget kentang daging kornet (apa susahnya bilang perkedel dan gunakan daging cincang ketimbang kornet tinggi garam).

Ada juga schotel macaroni (sekali lagi: terigu dan dan keju), sate sosis (yang sudah dihujat di negara asalnya sebagai produk yang jauh dari kata sehat), dan tentu saja: nasi ayam goreng ‘kentucky’ (padahal gorengan ayam bertepung dari negara bagian Paman Sam ini, tidak lebih sehat ketimbang ayam kuning ungkep atau ayam kalasan).

Masih ada lagi: kudapan agar-agar jelly dengan fla susu, begitu pula bubur kacang hijau yang santannya diganti susu, karena dianggap ‘lebih sehat dan berkelas’ ketimbang perasan kelapa.

Baca juga: Pemberian Makanan Tambahan Balita, Solusi atau Adiksi?

Ada 3 kemirisan yang saya lihat terlepas dari soal pembiayaan program atau siapa yang akan menjadi penyedia makanan di sekolah.

Pertama, kita semakin jauh dari budaya bangsa sendiri. Anak-anak sejak pertama belajar makan sudah tidak lagi kenal makanan sehat daerahnya. Yang diolah dengan beragam cara, dengan aneka rempah yang hanya terdapat setempat.

Istilah makanan kampungan menjadi tudingan yang amat menghina, bahkan saking kampungannya kerap kali menu daerah ‘dipoles’ agar lebih ‘internasional’, seperti bubur kacang hijau dengan kuah susu tadi.

Padahal, santan kaya beribu manfaat. Yang pasti, mengandung antioksidan bernama asam laureat yang tidak ada dalam susu.

Di negeri yang kaya akan pangan sehat dan bisa didapat langsung dari sumbernya, kita justru semakin banyak menggunakan produk olahan, termasuk santan kemasan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com