Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Stunting: Gangguan Gizi Menahun yang Berawal dari Ketidaktahuan Beruntun

Kompas.com - 30/09/2023, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisan ini dibuat pada ketinggian 9700 meter di atas permukaan laut, dalam penerbangan Jakarta – Padang, untuk menghadiri salah satu acara musyawarah nasional Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia.

Stunting masih menjadi isu sentral yang panas di negri ini. Apalagi, Presiden memerintahkan target penurunan stunting hingga 14%, suatu pencapaian nasional yang membuat terengah-engah beberapa daerah yang angkanya masih di atas 30%.

Sementara itu, terminologi stunting sendiri sejak awal tidak dipahami secara komprehensif. Meninggalkan stigma yang membuat banyak orangtua terjebak dengan status penyangkalan.

Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?

Mirip seperti stigma penyakit TBC, yang hingga kini orang lebih nyaman memberi istilah ‘flek paru’.

Stunting didefinisikan sebagai anak pendek yang dikaitkan dengan kebodohan, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Terlalu menyakitkan bagi para ibu, juga perasaan gagal menjadi orangtua.

Alhasil pembenaran seperti ‘keturunan pendek’, ‘tidak apa pendek asal sehat’, sering terdengar saat penimbangan dan pengukuran tinggi badan anak di Posyandu.

Di luar sana, dengan pemahaman seadanya, banyak orang berlomba-lomba ingin menunjukkan kontribusi mereka terhadap program pengentasan stunting.

Tapi dengan pemahaman yang tidak tepat, akhirnya kontribusi pun bisa melenceng, bahkan membawa dampak negatif.

Sebagian besar orang mengira stunting semata-mata produk dari asupan gizi yang kurang, ehingga dengan ‘menyumbang makanan dan minuman bergizi’, maka masalah bisa selesai.

Di tahun politik yang kian memanas, kampanye diam-diam dilakukan segelintir oknum dengan mendonasikan susu formula, susu lanjutan, hingga produk makanan bayi atau anak yang ‘dianggap bergizi’.

Tentunya, bingkisan dikemas lengkap dengan logo partai dan gambar wajah caleg-nya. Masyarakat tentu ‘bahagia’, bahkan menyambut dengan euforia. Bayangkan, mendapat rejeki nomplok aneka dagangan mini market yang selama ini hanya sekadar tontonan.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Pencegahan dan penanggulangan stunting sebenarnya dapat dilaksanakan melalui dua jalur: pendekatan spesifik serta pendekatan sensitif.

Namun, masyarakat awam biasanya berangkat dari sudut pandang pendekatan spesifik: gizi, sehingga aneka bantuan, serta upaya difokuskan semata-mata pada “peningkatan gizi”.

Padahal, pendekatan sensitif sebetulnya memberi daya ungkit 70% lebih besar terhadap masalah stunting, yaitu perbaikan pengetahuan orangtua, pola asuh, layanan kesehatan, cakupan imunisasi, kebersihan lingkungan, pengadaan air bersih, jamban keluarga yang dikelola dengan benar, hingga pengentasan masalah polusi serta manajemen keuangan rumah tangga.

Tidak sedikit anak-anak yang mendapat pemberian makanan tambahan (PMT), masih tetap menyisakan masalah gizi dan tak nampak perubahan signifikan, sekalipun program 14 hari hingga 90 hari PMT telah usai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com