Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/09/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: DR.dr. Tan Shot Yen, M.hum

Sudah lama saya memperkirakan isu minuman manis bakal meledak – yang didahului dengan saling sahut dan saling tampar berbahasa kasar di media sosial pun berlanjut.

Sensasi somasi menambah ricuh dan gaduh. Betapa mengerikannya. Padahal, ini semua dimulai dari ranah literasi dan edukasi, yang apabila sejak usia dini telah diperkenalkan, begitu anak masuk sekolah diajari bedanya konsumsi demi kebutuhan atau kecanduan, semua akan beres.

Tak ada satu merek jadi korban penjulidan. Sebab, semua produsen akan bebenah diri apabila produknya kian tidak laku, karena komposisinya kacau dan rakyat melek label.

Baca juga: Apa Itu Stunting, Ciri Stunting, dan Dampaknya pada Pertumbuhan Anak

Perlu disayangkan, edukasi sepotong-sepotong yang membuat publik semakin bingung.

Sementara akar permasalahan sesungguhnya tidak pernah disinggung. Kita mulai dengan masalah stunting sebagai contoh.

Sejak awal, stunting diberi label ‘tubuh kerdil’. Pendek. Pengenalan istilah yang amat salah, sehingga semua anak pendek diberi stigma stunting.

Pernah ada kelompok ibu-ibu yang ngamuk, karena anak mereka diukur (pun dengan meteran kain) dan ujug-ujug diberi tanda: stunting.

Padahal, stunting berkaitan dengan masalah gangguan gizi, yang mestinya tercatat dalam riwayat gizi ibu sejak hamil hingga anaknya berusia dua tahun. Yang biasanya saya uraikan sebagai ‘lima pintu menuju stunting’.

Pintu pertama. Ibu hamil dengan anemia, lingkar lengan atas di bawah 23.5cm, bermasalah dengan kekurangan energi kronik.

Pintu kedua. Inisiasi Menyusu Dini yang tidak dilaksanakan sebagai hak bayi di 1 jam pertama setelah kelahirannya. Padahal, ini masa genting agar nakes penolong persalinan bisa mengobservasi perlekatan ibu dan anak yang membuat menyusu lebih lancar di 6 bulan pertama.

Pintu ketiga. ASI eksklusif yang dicemari promosi tak etis susu pengganti ASI dengan beribu alasan yang tidak sesuai indikasi pemberian susu formula.

Bahkan di posyandu saat ini, kader-kadernya berani menganjurkan pemberian sufor saat penimbangan bayi jika berat badan anak nampak ‘seret’.

Belum lagi anjuran pemberian dini makanan pendamping asi di bawah 6 bulan yang mengikuti tren selebrita.

Dampak pengaruh influencer yang tidak bijak mengunggah kasus privat ke ranah public, tanpa berpikir tingkat literasi pengikutnya.

Baca juga: Terlalu Banyak Konsumsi Makanan dan Minuman Manis Memicu Kurang Gizi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com