Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Stunting: Gangguan Gizi Menahun yang Berawal dari Ketidaktahuan Beruntun

Kompas.com - 30/09/2023, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kader Posyandu pontang-panting menyiapkan makanan harian, yang di beberapa daerah--bahkan lebih mirip “nasi kotak hajatan” lengkap berisi lauk pauk aneka macam, hingga imbuhan makanan ringan sampai susu kotak kemasan, jika pengelolanya masih berpatokan ajaran lawas 4 sehat 5 sempurna.

Baca juga: Promosi Kesehatan: Iklan Layanan Masyarakat yang Ketinggalan

Menjadi miris karena anak yang menjadi target pembinaan tetap ‘mutung’ menolak makan, hanya mengambil jajan manis atau aneka susu kotak bergula tinggi. Nasi dan lauk dilepeh, anak rewel tidak mau makan.

Cukup sering sebenarnya, jika diusut awal mula anak menolak makan akibat ketidaktahuan ibu tentang aneka masalah tumbuh kembang: ‘buta’ sama sekali akan cara membuat bubur ulek saring.

Tapi, alih-alih belajar dan berupaya memahami buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) yang merupakan panduan nasional, para ibu muda lebih memilih bubur kemasan jadi yang tinggal diseduh air panas. Atau bahkan membeli bubur pinggir jalan yang katanya ‘organik’ dan ‘sehat’ menurut penjualnya.

Porsi yang tidak sesuai menurut usia, ditambah penolakan anak saat ibunya menaikkan tekstur bubur tanpa mengajarkan lebih dahulu stimulasi oromotor, ditambah campur tangan nenek yang ingin cucunya gemuk, menjadi kebingungan para orangtua baru yang menambah stres berkepanjangan.

Lingkup pergaulan yang tidak edukatif dan cara belajar dengan mencontoh para influencer melalui media sosial tanpa kemampuan menyaring informasi, semakin membuat proses pemberian makan bayi dan anak kian blunder.

Posyandu, yang diharapkan sebagai tombak terdepan para ibu hingga kini kesulitan melakukan regenerasi kader.

Tak jarang kalimat, ‘Tidak apa-apa berat badan tak naik, asal anaknya sehat’ masih sering terdengar untuk memberi ketenangan palsu pada ibu-ibu muda.

Begitu pula PMT sebulan sekali, semakin jauh dari contoh pangan sehat, dengan alasan dana minim, maka Posyandu membagi aneka jeli atau agar-agar warna-warni yang tak jelas fungsinya apa di usia balita, biskuit tinggi trans fat dan bersalut gula, sosis seharga seribuan, roti kemasan manis, hingga (lagi-lagi) susu kotak aneka rasa berpemanis juga.

Konseling seputar tumbuh kembang, serta pemberian makan bayi dan anak sudah hampir tidak terdengar lagi. Bahkan, cara mengukur tinggi badan dan menimbang berat anak tidak pernah ada kata seragam dari seluruh Posyandu di negri ini.

Baca juga: Menyusui dan MPASI: Esensi Tandem Pencegahan Stunting sejak Dini

Selain itu, hampir tidak ada Posyandu yang secara khusus memberi edukasi soal gigi. Padahal, masalah tumbuh gigi di usia rawan stunting menjadi kontribusi besar.

Gerakan tutup mulut menolak makan dan melepeh selalu diandaikan makanan anak tidak enak. Bahkan, banyak tenaga kesehatan (nakes) tergiring dengan opini: makanan bayi mesti enak juga di lidah ayahnya.

Alhasil, rasanya cuma di negri ini bubur bayi sarat dengan aneka imbuhan yang sama sekali tidak dibutuhkan untuk proses tumbuh kembang.

Memperkaya cita rasa dan mengenalkan keragaman pangan, bukan berarti menumpahkan aneka kecap, penyedap, bahkan gula dan garam tanpa takaran yang jelas.

Anak yang sedang belajar makan mengenali rasa manis, gurih bahkan asin dari bahan pangan itu sendiri, sebab ambang rasa indera pengecapnya masih rendah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com