Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel
Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com
Oleh: Dani Davidsen, Eleonora Gracia Puspa, Anggita Wijayanti, Heiskel Patuan Abram Pane, Shereen Angginie, dan Astri Angraini*
PERNAH menonton film "Finding Nemo"? Film ini memiliki sisi psikologis yang menarik lho. Hubungan antara Marlin, ayah yang sangat protektif, dan Nemo, anaknya yang ingin lepas dan mandiri, merefleksikan dinamika keluarga di kehidupan nyata.
Konsep attachment atau keterikatan memperlihatkan bagaimana pola hubungan emosional antara orangtua dan anak bisa berdampak pada perkembangan psikologis anak.
Dalam cerita ini, pola keterikatan antara Marlin dan Nemo sangat dipengaruhi trauma masa lalu dan kecemasan berlebih, membuat Marlin menjadi orangtua sangat protektif.
Melihat relevansi tema ini, penting bagi kita untuk mengulas "Finding Nemo" dari perspektif teori attachment agar orangtua dapat memahami bagaimana pola keterikatan yang overprotective dan kecemasan orangtua memengaruhi kemandirian anak.
Dengan memahami separate issue dalam film ini, kita bisa melihat tantangan yang dihadapi banyak orangtua dalam mendidik anak mereka.
Dalam "Finding Nemo", teori attachment antara orangtua dan anak menjadi tema utama yang digambarkan melalui hubungan Marlin dan Nemo. Teori ini menggambarkan ikatan emosional yang penting bagi perkembangan psikologis anak.
Dalam cerita ini, keterikatan Marlin dan Nemo terbentuk dan diuji karena trauma masa lalu Marlin.
Setelah kehilangan pasangan dan sebagian besar anak-anaknya akibat serangan predator laut, Marlin, sebagai orangtua tunggal, menjadi sangat cemas dan protektif terhadap Nemo.
Ketakutannya akan kehilangan lagi menciptakan hubungan yang erat, tetapi tidak seimbang, di mana sikap overprotective Marlin sering kali membatasi kebebasan Nemo.
Hubungan ini dieksplorasi di berbagai lokasi di laut, dari terumbu karang tempat mereka tinggal hingga laut lepas saat Marlin mencari Nemo yang diculik.
Setiap lokasi menggambarkan dinamika keterikatan dan perjuangan Marlin menghadapi bahaya demi menemukan anaknya.
Cerita ini berlanjut saat Nemo diculik, menguji ikatan emosional mereka dan memberi Marlin peluang memahami pentingnya kepercayaan dalam hubungannya dengan anaknya.
Teori attachment ini penting dalam Finding Nemo karena menggambarkan bagaimana trauma dan rasa takut kehilangan berdampak pada hubungan orangtua-anak.
Marlin mengembangkan keterikatan cemas dan overprotective, yang akhirnya memengaruhi kemandirian Nemo.
Sikap protektif Marlin adalah hasil pengalaman traumatisnya, tapi juga menghambat kemandirian Nemo.
Marlin menunjukkan keterikatan kuat melalui sikap protektif dan kecemasan ekstrem, terlihat saat ia ingin menjaga Nemo tetap aman hingga melarangnya menjelajah jauh.
Sikap ini bertentangan dengan keinginan Nemo untuk mandiri dan menunjukkan kemampuannya.
Sepanjang film, Marlin belajar memberi kepercayaan dan kebebasan yang lebih besar, sementara Nemo menghargai perhatian ayahnya sambil menemukan jati dirinya.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara perlindungan orangtua dan kebutuhan anak untuk mandiri.
Dalam film "Finding Nemo", karakter Marlin, ayah dari Nemo, menunjukkan pola asuh yang overprotective dengan melarang Nemo menjelajahi hal-hal baru.
Pendekatan ini membuat Nemo merasa tertekan hingga memberontak, berenang ke lautan lepas, dan akhirnya tertangkap oleh manusia.
Pola asuh yang ditunjukkan Marlin tersebut dapat dihubungkan dengan teori pengasuhan Baumrind (1966), yang terdiri dari tiga fokus utama dalam pengasuhan, yaitu otoritatif, otoriter, permisif.
Serta teori tambahan dari Maccoby dan Martin (1983 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), yaitu neglectful parenting.
Sehingga dari keempat pola asuh terdapat dua dimensi, yaitu demandingness (tingkat tuntutan), dan responsiveness (tingkat responsivitas).
Dalam film "Finding Nemo", pola asuh Marlin bisa dikategorikan sebagai otoriter. Orangtua dengan gaya otoriter biasanya banyak memberikan larangan dan menuntut kepatuhan tanpa memberi anak kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh otoriter memiliki tingkat tuntutan yang tinggi, tapi rendah dalam responsivitas.
Meskipun niat Marlin untuk melindungi Nemo terlihat baik, dampak jangka panjang dari pola asuh otoriter dapat merugikan perkembangan anak.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang terlalu mengontrol sering kali mengalami penurunan rasa percaya diri dan kesulitan dalam mengambil keputusan. Mereka menjadi takut untuk mencoba hal baru dan tidak terbiasa menghadapi risiko.
Namun, dalam film "Finding Nemo", Nemo akhirnya berani melawan larangan ayahnya untuk berenang ke laut lepas karena dorongan dan ajakan yang diberikan oleh teman-temannya untuk berenang di laut lepas.
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial memainkan peran penting dalam membangun keberanian anak.
Dalam hal responsivitas, pada film "Finding Nemo", Marlin cenderung menunjukkan respons yang rendah terhadap kebutuhan Nemo di awal cerita. Ia lebih sering menuntut dan memberikan larangan daripada memberikan dukungan emosional.
Namun, setelah Nemo diculik, Marlin mulai menunjukkan perubahan sikap. Ia baru memberikan pujian dan respons positif kepada Nemo saat melihat anaknya berhasil mengatasi tantangan besar, seperti ketika Nemo berhasil menyelamatkan Dory dari jaring ikan besar.
Ini menunjukkan bahwa responsivitas Marlin mulai berkembang seiring perjalanan emosionalnya.
Hubungan kasih sayang ini tercantum dalam teori Love yang diutarakan oleh Robert Sternberg pada 1986. Ia mengemukakan bahwa ada tiga komponen cinta:
Jika dilihat dari teori segitiga cinta Sternberg, karakter Marlin dalam film "Finding Nemo", cinta Marlin dapat digambarkan sebagai Companionate Love dalam konteks hubungan orangtua dan anak.
Setelah kehilangan istrinya, Marlin menjadi ayah yang sangat protektif terhadap Nemo, mencerminkan komitmennya yang mendalam.
Meskipun kadang perilakunya terkesan berlebihan, perjalanan mereka bersama mengajarkan Marlin untuk lebih percaya pada kemampuan Nemo dan memberikan ruang bagi anaknya untuk tumbuh.
Hubungan mereka tidak hanya menunjukkan cinta yang melindungi, tetapi juga dukungan penuh kedekatan emosional yang merupakan ciri khas dari Companionate Love.
Dalam teorinya Stenberg, Companionate Love memiliki tingkat keintiman dan komitmen tinggi, namun kurang dalam gairah, menghasilkan ikatan yang kuat, tetapi lebih bersifat hubungan yang dekat dan penuh kasih sayang, tidak melibatkan unsur seksual/ketertarikan.
Meskipun Nemo tidak mendapatkan pola asuh, cinta, atau keterikatan dari sosok ibu, kehadiran ayah yang merawatnya sejak dalam telur menciptakan keterikatan atau yang dapat disebut sebagai attachment.
Teori attachment diperkenalkan oleh John Bowlby pada 1958, menekankan pentingnya hubungan awal anak dan pengasuh sebagai dasar perkembangan emosional dan sosial anak.
Bowlby mengemukakan tiga pola attachment: Secure Attachment, Anxious Attachment, dan Avoidant Attachment.
Trauma kehilangan istri dan telurnya membuat Marlin sangat cemas terhadap keselamatan anak satu-satunya, Nemo.
Kecemasan ini mendorong Marlin untuk overprotective, seperti terus-menerus memperingatkan Nemo tentang bahaya dan membatasi kebebasannya.
Pola asuh ini menciptakan anxious attachment, di mana Nemo menjadi sangat bergantung pada orang-orang di sekitarnya untuk merasa aman.
Contohnya ada keraguan dan rasa takut gagal ketika diberi tugas oleh Gill di akuarium untuk memasukkan batu ke dalam pipa filter, sebagai bagian dari rencana pelarian mereka.
Nemo membutuhkan dorongan dari teman-temannya untuk mengambil risiko tersebut. Tanpa dukungan, Nemo sering kehilangan kepercayaan diri dan merasa tidak mampu bertindak sendiri.
Pengalaman sosial yang memaksa Nemo keluar dari zona nyaman, seperti interaksi dengan ikan-ikan akuarium dan perjalanannya kembali ke lautan, membantu Nemo mengurangi ketergantungan dan belajar percaya pada kemampuannya.
Jika pola ini tidak diatasi, Nemo mungkin tumbuh menjadi individu yang terlalu bergantung pada persetujuan atau bantuan dari teman-temannya. Hal ini bisa membuatnya sulit untuk mengambil keputusan mandiri ataupun menjalin hubungan yang seimbang secara emosional.
Dalam “Finding Nemo”, pola anxious attachment lebih relevan. Marlin berjuang dengan ketakutannya dan belajar untuk mempercayai Nemo, dia mulai memahami bahwa memberikan ruang adalah cara terbaik untuk menunjukkan kasih sayangnya.
Pada akhirnya, hubungan mereka berkembang menuju pola secure attachment.
Sementara itu, Nemo juga mulai memahami kasih sayang dan perhatian ayahnya. Keterikatan yang mereka bangun menunjukkan bahwa cinta dan dukungan dari pengasuh lain dapat menjadi fondasi yang kuat bagi perkembangan anak.
Lalu, apa yang bisa lakukan untuk mencegah dan mengatasi masalah ini? Dalam film, Marlin ditampilkan sebagai ayah yang sangat protektif akibat trauma masa lalunya.
Pola asuh otoriter yang ia terapkan pada Nemo, meskipun dilandasi niat baik untuk melindungi, justru menekan kemandirian anaknya.
Pola asuh yang terlalu mengontrol berisiko membuat Nemo merasa tertekan dan memberontak.
Agar pengasuhan lebih seimbang, Marlin dapat beralih ke pendekatan otoritatif, di mana ia tetap memberikan batasan yang jelas sambil memberi Nemo ruang untuk belajar dari pengalamannya sendiri.
Dengan komunikasi yang lebih terbuka, Marlin dapat mendengarkan kebutuhan Nemo tanpa langsung menghakimi, sehingga anaknya merasa didukung untuk mengeksplorasi dunia dengan aman.
Selain itu, kecemasan yang Marlin rasakan akibat trauma masa lalu memengaruhi cara ia merawat Nemo.
Untuk mengelola kecemasan ini, Marlin atau kita sebagai orangtua bisa melakukan latihan relaksasi dan mindfulness agar tidak selalu bereaksi berlebihan terhadap risiko yang dibayangkan.
Ia juga bisa berbagi pengalaman dengan orangtua lain yang menghadapi situasi serupa, sehingga merasa lebih nyaman dan mendapat perspektif baru tentang bagaimana menjaga keseimbangan dalam pengasuhan.
Cinta Marlin pada Nemo mencerminkan Companionate Love, penuh keintiman dan komitmen. Marlin dapat memperkuat hubungan ini dengan secara bertahap memberi Nemo kesempatan mencoba hal baru di lingkungan aman dan menciptakan momen kebersamaan positif tanpa kecemasan berlebih.
Pola secure attachment antara Marlin dan Nemo dapat terwujud dengan mendukung kemandirian Nemo sekaligus mengurangi sikap overprotective Marlin.
Marlin perlu lebih percaya pada kemampuan Nemo dan memberi tugas-tugas sederhana yang memungkinkan anaknya belajar mengambil keputusan sendiri.
Mengatasi trauma melalui konseling atau berbicara dengan teman-teman juga akan membantu Marlin mengurangi respons berlebihan terhadap risiko kecil.
Dengan pendekatan-pendekatan ini, Marlin dapat membangun hubungan yang lebih sehat dengan Nemo, memberikan anaknya dukungan dan ruang untuk tumbuh mandiri, sambil tetap merasa dilindungi dan dicintai.
Kisah ini mengajarkan bahwa pola pengasuhan yang seimbang adalah kunci untuk membangun ikatan kuat dan sehat antara orangtua dan anak.
*Dani Davidsen, Eleonora Gracia Puspa S, Anggita Wijayanti, Heiskel Patuan Abram Pane, Shereen Angginie, Mahasiswa Psikologi Universitas Tarumanagara
Astri Angraini, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara