Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel
Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com
KOMPAS.com - Ledakan di SMAN 72 Jakarta di Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025), bisa jadi peristiwa yang membuka mata publik tentang seriusnya dampak kekerasan dan bullying (perundungan) di sekolah.
Sebab, dilaporkan Kompas.com, Senin (10/11/2025), pelaku diduga termasuk siswa di sekolah tersebut yang menjadi korban bullying dari rekan-rekan satu sekolahnya.
Baca juga:
Menanggapi peristiwa tersebut, Psikolog Meity Arianty, STP., M.Psi. menjelaskan, peran orangtua sangat penting dalam mencegah dan membantu anak yang mengalami bullying agar tidak menyimpan tekanan emosional berlebihan.
Berikut ini beberapa langkah yang bisa dilakukan orangtua ketika anak menjadi korban bullying.
Meity menegaskan, komunikasi yang hangat menjadi kunci utama agar anak berani menceritakan pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya.
“Orangtua harus hadir secara aktif dalam kehidupan anak dengan membangun komunikasi yang terbuka dan penuh perhatian,” jelas Meity saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (11/11/2025).
“Maka, anak merasa nyaman untuk berbicara tentang perasaan dan masalah yang dihadapi,” lanjut dia.
Orangtua sebaiknya tidak langsung menghakimi atau memberikan nasihat yang menekan, tetapi mendengarkan dengan empati.
Cara ini membantu anak merasa dihargai dan tidak sendirian menghadapi situasi sulitnya.
Baca juga:
Kasus ledakan di SMAN 72 membuka mata tentang bahaya bullying. Psikolog bagikan bagaimana sikap orangtua ketika anak dibully. Menurut Meity, salah satu cara mengenali anak yang menjadi korban bullying adalah dengan memperhatikan perubahan perilaku atau kebiasaan mereka.
“Perhatikan perubahan perilaku, suasana hati, atau kebiasaan sehari-hari anak. Dengan begitu, orangtua dapat lebih mudah mendeteksi tanda-tanda awal adanya masalah,” katanya.
Misalnya, anak tampak cemas, sulit tidur, malas ke sekolah, atau tiba-tiba menjauh dari pergaulan. Tanda-tanda ini bisa menjadi sinyal bahwa anak sedang menghadapi tekanan emosional akibat bullying.
Kasus ledakan di SMAN 72 membuka mata tentang bahaya bullying. Psikolog bagikan bagaimana sikap orangtua ketika anak dibully. Anak korban bullying sering kali memendam amarah atau kesedihan karena tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya.
Meity menekankan pentingnya peran orangtua untuk mengajarkan pengelolaan emosi sejak dini.
“Mengajarkan anak untuk mengenali dan mengekspresikan emosinya dengan cara yang sehat juga penting,” ujar Meity.
Orangtua bisa membantu anak mengelola perasaan lewat kegiatan positif, seperti olahraga, seni, atau menulis jurnal.
Dengan begitu, anak tidak menyalurkan emosi lewat tindakan agresif atau kekerasan.
Baca juga:
Selain membangun komunikasi, orangtua juga sebaiknya aktif dalam kehidupan sosial anak.
Hal ini bisa dilakukan dengan memantau aktivitas mereka di sekolah maupun lingkungan pertemanan.
“Orangtua bisa melibatkan diri dalam kegiatan anak, seperti mengamati interaksi mereka dengan teman-teman dan mendiskusikan hal-hal yang terjadi di sekolah,” imbau Meity.
Keterlibatan orangtua bukan berarti mengontrol berlebihan, tetapi menunjukkan kepedulian dan memberikan rasa aman bagi anak.
“Cara ini membuat mereka lebih siap untuk menangani masalah sebelum berkembang menjadi kekerasan,” sambung dia.
Meity juga menyarankan agar anak diberi pemahaman bahwa melapor bukan berarti lemah. Justru, mencari bantuan adalah bentuk keberanian dan langkah untuk melindungi diri.
Anak bisa diarahkan untuk berbicara dengan guru, konselor sekolah, atau pihak berwenang yang bisa membantu menangani kasus bullying.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang