Penulis
KOMPAS.com - Fenomena perilaku yang merugikan di tempat kerja bukanlah hal baru. Kita bisa menemukannya dalam bentuk keterlambatan, gosip yang beredar dari satu meja ke meja lain, hingga konflik kecil yang berkembang menjadi drama berkepanjangan.
Meski tampak remeh, perilaku-perilaku tersebut dapat memengaruhi suasana kerja, produktivitas, dan hubungan antar karyawan.
Dalam psikologi industri dan organisasi, perilaku semacam ini dikenal sebagai perilaku kerja kontraproduktif, yaitu tindakan yang disengaja dan berpotensi merugikan organisasi maupun rekan kerja.
Salah satu gambaran menarik tentang perilaku ini muncul dalam penelitian dilakukan mahasiswa dan dosen Program Studi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara; Nathania Maria Indratno, Raja Oloan Tumanggor, dan P. Tommy S. Suyasa.
Penelitian tersebut menemukan bahwa perilaku kerja yang merugikan tidak hanya dipicu oleh lingkungan kerja saja, tetapi juga oleh faktor psikologis dalam diri setiap karyawan. Dua faktor utama yang menonjol adalah pengendalian diri dan kepuasan kerja
Perilaku kontraproduktif tidak selalu muncul dalam bentuk pelanggaran serius.
Dalam banyak kasus, ia muncul dalam keseharian, seperti menunda pekerjaan, memperpanjang waktu istirahat, membicarakan rekan kerja, memperlambat pekerjaan sebagai bentuk protes, atau menggunakan waktu kerja untuk urusan pribadi.
Meski tampak sepele, kebiasaan tersebut dapat menular dan membentuk budaya kerja yang tidak sehat.
Salah satu penyebab umum munculnya perilaku tersebut adalah rendahnya kemampuan mengendalikan diri. Individu yang kesulitan mengelola emosi atau dorongan impulsif lebih rentan bereaksi negatif dan menunjukkan perilaku merugikan.
Pengendalian diri membantu seseorang menahan dorongan emosional, mempertimbangkan konsekuensi, dan memilih respons yang lebih matang. Di tempat kerja, kemampuan ini penting untuk menjaga profesionalitas.
Individu dengan pengendalian diri yang baik cenderung mampu menjaga ketenangan saat menghadapi tekanan, tidak mudah terpancing konflik, lebih fokus pada tujuan kerja, menghindari tindakan impulsif seperti mengeluh berlebihan atau bergosip.
Sebaliknya, rendahnya pengendalian diri dapat membuat seseorang lebih mudah melampiaskan kekesalan melalui perilaku yang merugikan.
Selain pengendalian diri, kepuasan kerja juga berpengaruh besar terhadap perilaku. Kepuasan kerja mencakup perasaan positif terhadap pekerjaan, lingkungan kantor, hubungan dengan rekan kerja, serta kesempatan berkembang.
Karyawan yang merasa puas biasanya lebih termotivasi, lebih stabil secara emosional, menjaga hubungan baik dengan rekan kerja, serta lebih kecil kemungkinan terlibat dalam perilaku kontraproduktif.
Sementara itu, ketidakpuasan baik karena lingkungan kurang mendukung, kurangnya apresiasi, atau beban kerja yang tidak seimbang, dapat memicu stres dan meningkatkan kecenderungan munculnya perilaku negatif.