Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Patrick Jalani Hidup sebagai ODHA Selama 17 Tahun, Tak Gentar Hadapi Stigma Negatif

Kompas.com, 1 Desember 2025, 20:30 WIB
Devi Pattricia,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hidup sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak pernah mudah, apalagi ketika harus menjalaninya seorang diri. 

Namun bagi Patrick (48), warga Pulau Bintan, Kepulauan Riau ini, perjalanan panjang hidupnya selama 17 tahun sebagai ODHA justru menjadi proses pendewasaan yang ia hadapi dengan kepala tegak.

Patrick membagikan kisahnya tentang bagaimana ia pertama kali mengetahui status kesehatannya, berbagai tantangan yang ia lewati, hingga bagaimana ia akhirnya berdamai dengan keadaan.

Baca juga: Jangan Salah Sebut, HIV dan AIDS Beda Istilah

Cerita Patrick sebagai ODHA selama 17 tahun

Awal mula Patrick mengetahui dirinya terkena HIV

Patrick mulai merasakan ada yang berbeda pada tubuhnya sekitar tahun 2008 atau 2009. Kala itu, ia hanya mengira sedang mengalami stres berkepanjangan.

Ia mengingat momen itu dengan jelas. Laki-laki yang bekerja di bidang IT dan jasa penerjemah bahasa itu mengaku mengalami gejala layaknya psoriasis atau penyakit kulit yang menyebabkan pergantian sel kulit terlalu cepat.

Kondisi ini memicu munculnya bercak merah, tebal, bersisik, dan seringkali gatal di area kepala

“Awalnya muncul gejala seperti psoriasis, kulit kepala muncul seperti ketombe tebal yang tidak nyaman rasanya,” cerita Patrick saat diwawancarai Kompas.com, Senin (1/12/2025).

Ketombe tebal yang tak mau hilang membuatnya curiga, namun ia sempat berusaha menyangkal. 

Patrick memilih mengabaikannya sambil berharap kondisi itu akan membaik dengan sendirinya. Nyatanya, gejala lain justru muncul dan membuatnya semakin bingung.

“Sampai akhirnya saya juga sempat kena infeksi jamur yang saya lupa namanya, tapi dia bikin tenggorokan saya bengkak,” katanya.

Saat itu Patrick tidak langsung memeriksakan diri. Titik baliknya justru datang belakangan, ketika ia mengantar keluarga melakukan medical check-up di Johor, Malaysia. 

Baca juga: Terdiagnosis HIV, Kapan Mulai Perlu Minum Obat?

Melihat proses medis yang dilakukan keluarganya, ia tergerak untuk ikut memeriksakan kondisinya.

Dokter kemudian melakukan laringoskopi. Melalui alat yang dimasukkan ke tenggorokan, terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. 

Ia bercerita, pada saat itu dokter memiliki dugaan HIV. Dalam percakapan lanjut, dokter menanyakan riwayat seksual Patrick.

“Waktu itu dokter juga sempat tanyakan soal seberapa aktif berhubungan seksual dan lain sebagainya. Waktu itu saya bilang sempat berhubungan seksual tanpa pengaman,” katanya.

Patrick yakin bahwa itulah jalur penularannya, sebab ia tidak melakukan donor darah ataupun suntik obat-obatan dalam waktu dekat, yang menjadi cara lain dari penularan HIV.

Dari rangkaian pemeriksaan itu, hasil tes HIV pun keluar dan dirinya dinyatakan positif.

“Setelah tes HIV, akhirnya benar saya dinyatakan positif dan kembali ke Indonesia untuk mendapatkan pengobatan dari rumah sakit,” kata dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau