
Baik profesional yang membangun citra maupun pejabat yang "cari panggung", keduanya menghadapi risiko yang sama: terjebak pada validasi eksternal. Kita menjadi cemas jika statistik tahunan kita "biasa saja" atau kalah mentereng dibandingkan orang lain. Akibatnya, makna "refleksi" bergeser: dari "melihat ke dalam" (introspeksi) untuk perbaikan diri, menjadi "dilihat dari luar" (ekshibisi) untuk tepuk tangan.
Baca juga: Algoritma sebagai Tuhan Baru, Iman Digital dalam Zaman Tanpa Makna
Lebih jauh lagi, ketergantungan pada rekapitulasi platform menciptakan bias memori yang serius. Marshall McLuhan pernah berkata, "The medium is the message". Dalam konteks ini, medium (aplikasi) menentukan pesan apa yang kita ingat tentang hidup kita.
Masalahnya, platform digital beroperasi dalam ekosistem "taman bertembok" (walled garden). Mereka hanya merekam apa yang kita lakukan di dalam aplikasi mereka, demi kepentingan monetisasi data. Akibatnya, memori kita tentang tahun 2025 menjadi terdistorsi. Momen-momen paling bermakna dalam hidup sering kali terjadi secara analog dan luput dari sensor gawai.
Kehangatan makan malam bersama keluarga besar, tawa lepas saat pesta bakar jagung di kampung halaman, atau keheningan khusyuk saat beribadah—semua itu tidak meninggalkan jejak digital (digital footprint).
Ketika kita membiarkan algoritma mendikte narasi "Setahun Kemarin", momen-momen analog tersebut perlahan terhapus dari ingatan kolektif karena tidak ada grafiknya. Kita menghadapi risiko amnesia komunikasi: jika tidak ada datanya, maka dianggap tidak pernah terjadi.
Algoritma menjadi kurator tunggal sejarah hidup kita, dan kurator ini bekerja bukan demi kesehatan mental kita, melainkan demi angka keterlibatan (engagement) pengguna.
Baca juga: 50 Kata-kata Bijak tentang Kehidupan, Bisa Jadi Refleksi Akhir Tahun
Tulisan ini bukan ajakan antiteknologi untuk menghapus semua aplikasi. Data tentu berguna sebagai alat bantu komunikasi untuk memantau kemajuan diri. Namun, kita perlu meletakkan data pada tempatnya yang proporsional: sebagai alat bantu, bukan penentu nilai diri.
Di penghujung 2025 ini, di tengah riuh rendah perayaan tahun baru, mari lakukan eksperimen komunikasi kecil. Sebelum menekan tombol "Share" pada laporan tahunan aplikasi Anda, luangkan waktu sejenak untuk mengingat satu momen berharga yang luput dari rekaman mesin. Ingat kembali kegagalan yang tidak tercatat di LinkedIn, atau kebahagiaan sederhana yang tidak "instagrammable".
Kita perlu merebut kembali kedaulatan atas narasi hidup kita. Menjadi manusia di era digital berarti berani mengakui bahwa bagian terbaik dari diri kita sering kali adalah hal-hal yang tidak bisa dihitung. Jangan sampai kita menjadi "Manusia Angka" yang kaya data tapi miskin makna. Biarkan algoritma menghitung apa yang bisa dihitung, tapi biarkan hati nurani yang menilai apa yang benar-benar berharga.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang