YOGYAKARTA, KOMPAS -
”Contoh paling mudah adalah anak-anak tidur tidak tertata, semrawut. Mereka rawan terinjak kalau ada situasi panik. Kalau ditanya, jawabannya karena sedang kondisi darurat, padahal sesuai standar operasional prosedur, seharusnya tidur berjajar,” ucap Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Satriyandaningrum, Kamis (18/11).
Satriyandaningrum mengatakan, kebutuhan untuk balita relatif kurang mendapat perhatian. ”Logistik terkonsentrasi memenuhi kebutuhan orang dewasa,” katanya.
Terkait perlindungan anak, KPAI menemukan, mekanisme kerja masih kurang terkoordinasi, kelihatan jalan sendiri-sendiri baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, masyarakat, maupun penyelenggara perlindungan anak lainnya. ”Data anak belum tertata, bahkan masih ditemukan posko tanpa papan pengumuman data orang tua, anak, balita, dan lansia,” ujarnya.
Selain itu, distribusi logistik tidak merata. Posko besar kebanjiran bantuan, sedangkan posko-posko kecil yang tersebar ada yang belum disentuh.
”Sarana dan prasarana kurang, khususnya permainan anak di posko-pokso kecil. Anak-anak juga masih kurang diperhatikan pada malam hari sehingga rentan hal kurang baik, seperti asap rokok, pacaran, dan lainnya,” ujarnya.
KPAI merekomendasikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengevaluasi pendistribusian logistik sehingga lebih merata dan sesuai kebutuhan. Perlu ada penyediaan sarana bermain untuk anak sehingga dapat mengurangi trauma.
Pemberian surat berharga seperti kutipan akta kelahiran, ijazah yang rusak terkena awan panas, dilakukan dalam jangka waktu satu bulan setelah selesai tanggap darurat. ”Perlu pengasuhan berbasis keluarga bagi anak-anak telantar,” katanya.
Berdasarkan data Pemprov Jawa Tengah, jumlah siswa yang mengungsi dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga SMA mencapai 21.834 siswa. Umar Prioyono dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY, mengungkapkan, di DIY jumlah pengungsi anak usia 0-1 tahun sebanyak 759 anak, dan usia 1-5 sebayak 2.256 anak.