Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi dan Kesejahteraan

Kompas.com - 19/12/2011, 02:38 WIB

Bestian Nainggolan

Mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan tidak pernah putus dari beragam perdebatan. Persoalannya, apakah demokrasi memang menjadi faktor pemicu kesejahteraan masyarakat, ataukah sebaliknya justru kesejahteraanlah yang memampukan demokrasi berjalan dengan baik?

Di luar pertanyaan itu sebenarnya terdapat pula beragam pertanyaan hipotetis lain yang tidak kurang menjadi perhatian. Misalnya, apakah benar demokrasi menjadi satu-satunya prasyarat bakal terciptanya kesejahteraan, ataupun sebaliknya kesejahteraan menjadi syarat penentu? Apabila memang kedua entitas tersebut berkaitan, apakah selinier itu hubungan yang terbentuk?

Masih banyak lagi yang dapat diperdebatkan dari keduanya. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan ”mana yang lebih dahulu” di antara variabel demokrasi dan kesejahteraan belakangan ini menjadi semakin krusial dipersoalkan, terutama bagi negara-negara yang pada satu sisi kini berubah struktur politiknya, sementara di sisi lain negara tersebut tengah pula bergulat dalam pemakmuran masyarakatnya.

Bagi Indonesia, pertanyaan semacam ini menjadi semakin relevan, terutama tatkala kedua persoalan itu dihadapkan pada realitas yang berkembang di masyarakat saat ini. Mencermati berbagai hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas sepanjang tahun ini, misalnya, terlihat benar adanya kecenderungan ketidakpuasan publik yang tinggi terhadap berbagai kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang mereka rasakan. Sebagian besar di antara mereka berpandangan bahwa reformasi politik yang 12 tahun terakhir mampu melembagakan demokrasi di negeri ini sayangnya dianggap belum juga mampu menjawab harapan mereka. Kinerja sejumlah institusi politik demokratik, baik partai politik, DPR, maupun pemerintahan, yang hadir selama kurun waktu tersebut, dinilai tidak memuaskan. Semakin mengecewakan tatkala kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan dari perubahan struktur politik tidak juga banyak dirasakan sebagaimana yang mereka harapkan.

Bibit frustrasi

Tidak heran dalam situasi semacam ini, bibit-bibit frustrasi sosial merekah. Terdapat kalangan yang memandang, ketika kesejahteraan yang diekspektasikan tidak juga kunjung dirasakan, jalan demokrasi yang sebelumnya telah dipilih diragukan manfaatnya. Bahkan, di antaranya tampak cukup fatal, adanya kerinduan mereka pada masa ”kegemilangan” Orde Baru. Terdapat pula sebagian kalangan lainnya yang mulai merasakan bahwa kesejahteraanlah yang sepatutnya terlebih dahulu dicapai. Dalam kondisi sejahtera, mewujudkan demokrasi tidak lagi menjadi masalah.

Sebenarnya, potret hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan mulai dapat terbaca di negeri ini. Hasil pengujian kuantitatif terhadap kedua variabel tersebut menunjukkan adanya korelasi positif yang cukup signifikan.

Artinya, keduanya dapat dipersandingkan dan saling terpaut satu sama lain. Dalam hal ini, semakin tinggi indeks demokrasi suatu wilayah, semakin tinggi pula indeks kesejahteraan ataupun kemakmurannya. Begitu pun sebaliknya, semakin tinggi indeks kesejahteraan suatu wilayah, kecenderungan indeks demokrasinya juga semakin tinggi.

Selain itu, pola hubungan yang terbentuk menunjukkan pula kausalitas di antara keduanya. Yang tampak menonjol, kesejahteraan menjadi faktor determinan yang memungkinkan kualitas demokrasi yang terbentuk. Hanya, model kausalitas demikian tidak serta-merta menjadi suatu pijakan yang akurat lantaran terindikasi pula faktor-faktor lain yang seharusnya hadir dalam pembentukan kualitas demokrasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com