Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cegah Anak Stunting, Perhatikan Gizi dan Kebersihan

Kompas.com, 10 Februari 2020, 14:10 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Stunting menjadi salah satu perhatian utama pemerintah saat ini karena bisa mengancam kualitas generasi yang akan datang.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sebanyak 31 persen atau 9 juta anak Indonesia menderita stunting. Adapun angka prevalensi stunting tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 43 persen.

Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam waktu yang lama. Kondisi ini membuat pertumbuhan anak menjadi tidak optimal, ditandai dengan anak bertubuh pendek dan kecerdasannya tidak maksimal.

Meski kecukupan gizi di 1.000 hari pertama kehidupan menjadi poin penting yang selalu disoroti, pada dasarnya stunting bisa dicegah lewat perilaku sederhana, seperti menjaga kebersihan.

"Bayangkan kita semua makan sayur, buah, daging, dan sebagainya yang sehat-sehat tapi kalau misalnya kita tidak cuci tangan terus cacingan atau diare, nutrisi yang kita harapkan untuk kita asup larinya enggak akan ke dalam tubuh."

Demikian diungkapkan oleh Outreach Coordinator 1000 Days Fund, Valerie Krisni seusai media gathering di Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2020).

Baca juga: Bagaimana Konsumsi Protein Hewani Bisa Cegah Stunting?

Menurut Valerie pengaruh kebersihan terhadap stunting mencapai lebih dari 50 persen.

"Dalam sebuah jurnal kalau tidak salah sekitar 70 persen penyebab stunting itu adalah kebersihan," sambungnya.

Untuk di Indonesia sendiri, salah satu permasalahan kebersihan yang masih menjadi tantangan adalah kebiasaan buang air besar sembarangan. Angkanya mencapai sekitar setengah jumlah penduduk Indonesia.

"Kalau di pulau-pulau kasusnya buang air besar di pantai. Terus anak-anak juga main di pantai. Jadi airnya kotor, dia habis main enggak mandi atau enggak cuci tangan. Jadi ada rangkaiannya," kata Valerie.

Menurutnya, faktor ekonomi tidak menentukan apakah seseorang menjalani perilaku kebersihan atau tidak. Artinya, banyak pula orang yang secara ekonomi terbilang mampu namun masih menjalani pola hidup tidak sehat dan tidak bersih.

"Jadi faktor ekonomi itu sebenarnya bukan faktor yang paling penting dalam perilaku hidup bersih sehat," ucapnya.

Baca juga: Jangan Buru-buru Beri Makanan, Bayi Menangis Bukan Cuma karena Lapar

Multifaktor

Kepala Badan Litbang Kesehatan dari Kementerian Kesehatan, dr. Siswanto, MPH, DTM menyebutkan, stunting juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan ibu tentang stunting, pola asuh, hingga masalah pendidikan.

Intervensi yang bisa dilakukan antara lain memastikan mutu pelayanan kesehatan ibu hamil memadai, menjamin kualitas pangan, literasi pada ibu, dan lainnya.

Namun, usaha ini tak memerlukan kerja bersama oleh berbagai pihak dan dari berbagai level.

"Perlu mengintegrasikan semua pihak di level hingga ke desa sehingga ada jaminan ibu hamil dan anak mendapatkan gizi cukup," kata Siswanto.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau