Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 24 Juni 2021, 08:08 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pandemi sudah berjalan lebih dari satu tahun namun masih saja ada masyarakat yang tidak percaya akan keberadaan Covid-19.

Mereka meremehkan virus ini meski sudah banyak korban yang telah membuktikan keganasan Corona. Selain itu, masih banyak pula yang percaya dengan kabar negatif dan konspirasi lainnya.

Isu tersebut tergolong konyol namun tetap dipercaya oleh banyak orang. Termasuk pula kabar bahwa vaksin yang disusupi chip sehingga orang-orang enggan divaksin.

Kombinasi hoaks yang terus berkembang dengan penanganan yang buruk dari pemerintah ini kemudian menjadikan situasi pandemi di Indonesia semakin kritis.

Baca juga: Dokter Reisa Ingatkan 5 Hal Penting soal Isolasi Mandiri Covid-19

Tak heran jika muncul istilah herd stupidity, seperti yang dilontarkan oleh epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono.

Media sosial dipenuhi keluhan warganet yang frustasi menghadapi lingkungan sekitarnya yang termakan isu miring soal Covid-19. Meski informasi dan data telah dibeberkan namun hasilnya sia-sia.

Informasi yang sebenarnya penting tidak diacuhkan sehingga memicu lonjakan kasus seperti yang terjadi belakangan ini.

Baca juga: Begini Cara Mengingatkan Orang Terdekat soal Bahaya Nyata Covid-19

Psikolog Sosial, Dicky Chresthover Pelupessy, Ph.D., mengatakan fenomena orang yang tidak percaya dengan Covid-19 erat kaitannya dengan status manusia sebagai makhluk kognitif.

Secara alami, kita menyerap dan mengolah informasi berdasarkan yang disiplin ilmu, hal yang diyakini dan diketahui.

Virus Corona sendiri merupakan hal yang baru sehingga wajar banyak orang masih banyak yang berupaya mengenalinya dan menyerap data yang ada.

Ia menambahkan, sejumlah penelitian telah membuktikan, orang yang mudah percaya dengan konspirasi termasuk soal Covid-19, biasanya tidak percaya kepada pemerintah yang sedang berjalan.

"Hasil studi membuktikan, biasanya mereka yang tidak percaya, kecenderungan lebih suka konspirasi itu, tidak percaya pemerintah, posisinya oposisi," terangnya kepada Kompas pada Rabu (23/06/2021).

Baca juga: Setahun Pandemi Covid-19, Ini 6 Teori Konspirasi Menyesatkan di Dunia

Mengapa Manusia Mudah Tergoda pada Konspirasi?

Isu miring soal Covid-19 maupun berbagai teori konspirasi lainnya sebenarnya bukan hal baru di masyarakat. Ada banyak hoaks lainnya yang sampai saat ini masih sangat diyakini orang banyak termasuk soal bumi datar.

Pakar jebolan Universitas Indonesia ini menjelaskan kerentanan manusia pada konspirasi adalah bentuk nyata kemampuan kita sebagai cognitive measure.

"Pada dasarnya manusia bukan pengolah informasi yang baik," jelasnya.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau