Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandemi, Kesehatan Mental Anak Sama Rentannya dengan Orangtua

Kompas.com, 3 Agustus 2021, 20:26 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com – Pandemi yang berkepanjangan telah membatasi aktivitas banyak orang. Baik orang dewasa atau anak-anak sama-sama rentan mengalami tekanan mental.

Orangtua perlu memperhatikan kondisi anak, bukan hanya fisiknya tetapi juga mental. Kenali tanda-tanda anak mengalami stres atau pun kecemasan.

Mengutip survei yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebanyak 13 persen anak sudah mengalami depresi akibat pandemi. Kekerasan yang terjadi pada anak juga cukup tinggi.

Psikolog anak dan keluarga, Saskhya Aulia Prima, M.Psi, mengatakan orangtua perlu mengenali tanda-tanda anak butuh bantuan profesional.

“Lihat mood anak. Apakah dia sedih terus, jadi bergantung banget dengan orangtuanya padahal dulunya sudah mandiri, atau anak malah makin agresif seperti memukul atau melempar barang,” kata Saskhya dalam acara IG Live Happy at Home with Hometown Dairy beberapa waktu lalu.

Baca juga: Tips Pola Asuh agar Anak Lebih Cerdas

Pada anak yang sudah sekolah, terkadang anak juga jadi tidak mau mengerjakan tugas-tugasnya atau pun rutinitasnya berantakan.

“Coba dibawa berkonsultasi supaya anak lebih terjaga kesehatan mentalnya. Lagi pula sekarang sudah bisa konsultasi dengan psikolog secara online,” kata co-founder lembaga psikologi Tiga Generasi ini.

Selain anak, orangtua juga mulai berada di titik jenuh karena menjalani berbagai peran sekaligus.

Menurut Saskhya, di masa pandemi banyak orangtua yang mengalami parental burnout atau kelelahan menjalani peran pengasuhan anak.

Karena itu ia mengingatkan pentingnya orangtua untuk memahami kebutuhan mentalnya sehingga bisa memiliki interaksi yang positif dengan anak.

“Kalau kita sebagai orangtua happy, maka interaksi dengan anak juga positif. Sebagai contoh, anak jadi susah konsentrasi kalau ibunya galak ketika mendampingi anak belajar,” ujarnya.

Saskhya menyarankan agar orangtua melakukan me time atau waktu untuk melakukan sesuatu yang disukai.

Baca juga: Orangtua Sering Membentak Anak, Ini 6 Dampak Buruknya

“Orangtua butuh waktu sendiri juga, misalnya 15 menit untuk melihat media sosial. Tidak apa-apa kita melatih anak melakukan independent play karena mereka butuh latihan untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri,” paparnya.

Kesehatan usus

Pilar kesehatan mental tak bisa dipisahkan dari pencernaan. Dijelaskan oleh Saskhya, di pencernaan ada banyak bakteri baik yang menentukan cara kita berpikir dan merasakan sesuatu.

“Usus kita adalah otak kedua. Jadi, 90 persen hormon yang bikin cemas atau bikin bahagia dihasilkan di usus. Karenanya pilih makanan dan minuman yang bagus dan diproses dengan alami supaya mood dan kesehatan kita terjaga,” katanya.

Baca juga: Anak Bosan Sekolah Online, Ini 3 Solusinya Menurut Ahli

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau